Langsung ke konten utama

Biografi Abu Hasan Al 'as'ary

Rabu, 22 Januari 2014

Biografi Abu Hasan Al 'As'ary

Biografi Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari


Mengkaji biografi ulama dan becermin dari perjalanan hidup mereka adalah bekal utama menjalani kehidupan. Padanya terdapat berbagai pengajaran berharga (ibrah) dan nilai-nilai keteladanan yang sangat berguna bagi setiap insan. Betapa banyak jiwa yang lalai menjadi taat, yang sekarat menjadi sehat, yang lemah menjadi kuat, dan yang tersesat menjadi terbimbing di atas jalan kebenaran.
Di antara para ulama yang mulia itu adalah al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t, sang pencari kebenaran. Beliau adalah seorang ulama terkemuka dari keturunan sahabat Abu Musa al-Asy’ari z yang asal-usulnya dari negeri Yaman. Perjalanan hidup beliau pun sangat menarik untuk disimak dan dijadikan bahan renungan, mengingat ada tiga fase keyakinan yang beliau lalui. Fase pertama bersama Mu’tazilah, fase kedua bersama Kullabiyah, dan terakhir bersama Salafiyah Ahlus Sunnah wal Jamaah setelah mendapatkan hidayah dari ar-Rahman.
Nama beliau kesohor di berbagai penjuru dunia sebagai panutan mazhab Asy’ari (yang hakikatnya adalah mazhab Kullabiyah), padahal itu adalah fase kedua dalam kehidupan beragama yang telah beliau tinggalkan. Beliau pun wafat dalam keadaan berpegang teguh dengan manhaj salaf, Ahlus Sunnah wal Jamaah, satu-satunya jalan kebenaran yang diwariskan oleh Rasulullah n dan para sahabatnya yang budiman.
Nama dan Garis Keturunan al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari
Beliau adalah Ali bin Ismail bin Ishaq (Abu Bisyr) bin Salim bin Ismail bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa al-Asy’ari. Beliau lahir di Bashrah (Irak) pada tahun 260 H dan wafat di Baghdad (Irak) pada tahun 324 H. Beliau dikenal dengan sebutan Abul Hasan al-Asy’ari. Abul Hasan adalah kuniah beliau.1 Adapun al-Asy’ari adalah nisbah (penyandaran) kepada kabilah al-Asy’ar2, salah satu kabilah besar di negeri Yaman, yang berpangkal pada diri Saba’ bin Yasyjub bin Ya’rub bin Qahthan. Laqab (julukan) beliau adalah Nashiruddin (pembela agama).3
Ayah beliau, Ismail bin Ishaq, adalah seorang sunni yang mencintai ilmu hadits dan berpegang teguh dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah, sebagaimana penuturan Abu Bakr Ibnu Furak. Bahkan, menjelang wafatnya, sang ayah dengan penuh antusias berwasiat agar Abul Hasan kecil dibimbing oleh al-Hafizh Abu Yahya Zakaria bin Yahya as-Saji, seorang pakar fikih dan hadits kota Bashrah yang berpegang teguh dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah. (Lihat Jamharah Ansabil Arab karya al-Imam Ibnu Hazm 1/163, al-Ansab karya al-Imam as-Sam’ani 1/266, Nihayatul Arab fi Ma’rifatil Ansab karya al-Qalqasandi, Tabyin Kadzibil Muftari karya al-Imam Ibnu Asakir, hlm. 35, dan Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 45)
Ditinjau dari garis keturunannya, al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari adalah keturunan dari sahabat Abdullah bin Qais bin Hadhdhar al-Asy’ari al-Yamani z, yang dikenal dengan sebutan Abu Musa al-Asy’ari z. Beliau adalah salah seorang sahabat Nabi n yang terkenal akan keilmuan dan keindahan suaranya dalam membaca al-Qur’an. Adapun pernyataan Abu Ali al-Hasan bin Ali bin Ibrahim al-Ahwazi dalam kitabnya Matsalib Ibni Abi Bisyr bahwa al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari bukan keturunan Abu Musa al-Asy’ari z, namun keturunan Yahudi yang kakeknya diislamkan oleh sebagian orang dari kabilah al-Asy’ar, menurut al-Imam Ibnu Asakir t hal ini merupakan kedustaan dan kebodohan yang nyata. (Lihat al-Ansab karya al-Imam as-Sam’ani 1/266, Tahdzibut Tahdzib karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani 5/362, dan Tabyin Kadzibil Muftari karya al-Imam Ibnu Asakir, hlm. 147)
Kepribadian al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari
Al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t adalah seorang yang berbudi pekerti luhur dan terkenal kejeniusannya. Pola hidupnya sederhana, selalu diiringi oleh sifat zuhud (tidak tamak terhadap dunia), qana’ah (bersyukur dengan apa yang ada), penuh ta’affuf (jauh dari sifat meminta-minta), wara’ (sangat berhati-hati dalam urusan dunia), dan sangat antusias terhadap urusan akhirat. Di sisi lain, beliau adalah seorang yang suka humor dan tidak kaku. (Lihat Tarikh Baghdad karya al-Khathib al-Baghdadi 11/347, Siyar A’lamin Nubala 15/86 dan al-‘Ibar fi Khabari Man Ghabar karya al-Imam adz-Dzahabi 2/203, Tabyin Kadzibil Muftari, hlm. 141—142, serta al-Fihristi karya Ibnun Nadim, hlm. 257)
Menelusuri Tiga Fase Keyakinan yang Dilalui oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari
Faktor lingkungan mempunyai peran yang sangat besar dalam membentuk keyakinan dan kepribadian seseorang, terkhusus lingkungan intern keluarga, yaitu ayah dan ibu. Rasulullah n bersabda:
“Tidaklah seorang anak itu dilahirkan melainkan di atas fitrah (naluri keislaman). Kedua orang tuanya yang sangat berperan dalam menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan Majusi. Ini seperti halnya seekor binatang (pada umumnya) melahirkan anaknya dalam keadaan sempurna fisiknya. Apakah kalian melihat pada anak binatang yang baru dilahirkan itu cacat di telinga atau anggota tubuhnya yang lain?” Kemudian sahabat Abu Hurairah z berkata, “Jika kalian mau, bacalah firman Allah l (yang artinya), ‘(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.’ (ar-Rum: 30)” (HR. Muslim no. 2658, dari sahabat Abu Hurairah z)
Demikian pula keadaan al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t. Pada usia belia, beliau hidup di bawah asuhan seorang ayah yang berpegang teguh dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah. Bahkan, menjelang wafatnya sang ayah berwasiat agar Abul Hasan kecil tumbuh di bawah bimbingan al-Hafizh Abu Yahya Zakaria bin Yahya as-Saji, seorang pakar fikih dan hadits kota Bashrah yang berpegang teguh dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Sepeninggal ayah beliau, sang ibu menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali al-Jubba’i. Kondisi pun berubah. Abul Hasan kecil tumbuh dan berkembang di bawah asuhan ayah tiri yang berpaham Mu’tazilah tersebut dan dididik dengan doktrin keilmuan ala Mu’tazilah yang sesat. Cukup lama al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari berguru kepada Abu Ali al-Jubba’i. Semakin erat hubungan antara keduanya hingga al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari menjadi pewaris ilmu Abu Ali al-Jubba’i dan berposisi sebagai tokoh muda Mu’tazilah yang disegani di kalangan kelompoknya. Dalam banyak kesempatan Abu Ali al-Jubba’i mewakilkan urusan keagamaan kepada al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t. Bahkan, tak sedikit karya tulis yang beliau luncurkan untuk kepentingan kelompok Mu’tazilah dan menyerang orang-orang yang berseberangan dengannya.
Demikianlah fase pertama dari tiga fase keyakinan yang dilalui oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t. Fase kehidupan sebagai seorang mu’tazili (berpaham Mu’tazilah) yang berjuang keras demi tersebarnya akidah sesat tersebut.4 (Lihat Tabyin Kadzibil Muftari, hlm. 35, dan Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 46—47)
Fase kedua adalah fase bertaubatnya al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari dari akidah sesat Mu’tazilah, setelah berlalu empat puluh tahun dari perjalanan hidup beliau t, tepatnya pada tahun 300 H. Tidak tanggung-tanggung, taubat dan sikap berlepas diri itu beliau umumkan di atas mimbar Masjid Jami’ kota Bashrah, seusai shalat Jumat. Bahkan, beliau meluncurkan beberapa karya tulis untuk membantah syubhat-syubhat Mu’tazilah dan kesesatan mereka. Selang beberapa lama setelah pengumuman taubat tersebut, al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari meninggalkan Bashrah dan berdomisili di Baghdad. (Lihat Tabyin Kadzibil Muftari, hlm. 39, Wafayatul A’yan karya al-Qadhi Ibnu Khallikan 3/285, dan Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 19)
Al-Imam Ibnu Katsir t berkata, “Sungguh, Abul Hasan al-Asy’ari dahulunya adalah seorang yang berakidah Mu’tazilah kemudian bertaubat di kota Bashrah. Beliau mengumumkan taubat tersebut di atas mimbar. Setelah itu beliau membongkar berbagai kesesatan dan kejelekan Mu’tazilah.” (al-Bidayah wan Nihayah 11/187)
Al-Imam adz-Dzahabi t berkata, “Ketika (al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari, pen.) telah mendalami hakikat Mu’tazilah, muncullah kebencian beliau terhadapnya. Beliau lalu berlepas diri darinya. Beliau naik ke atas mimbar (untuk mengumumkan sikapnya itu, pen.) dan bertaubat kepada Allah l. Kemudian beliau meluncurkan bantahan terhadap Mu’tazilah dan membongkar penyimpangan-penyimpangan mereka.” (Siyar A’lamin Nubala’ 15/86)
Al-Qadhi Ibnu Khallikan t berkata, “Dahulu, Abul Hasan al-Asy’ari adalah seorang yang berakidah Mu’tazilah kemudian bertaubat darinya.” (Wafayatul A’yan 3/285)
Pada fase kedua ini al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t condong kepada para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, namun belum berpemahaman Ahlus Sunnah wal Jamaah. Beliau lebih terpengaruh dengan kelompok Kullabiyah yang saat itu tergolong gencar dalam membantah kelompok sesat Mu’tazilah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Ketika keluar dari mazhab Mu’tazilah, Abul Hasan al-Asy’ari mengikuti jalan Ibnu Kullab dan condong kepada Ahlus Sunnah wal Hadits.” (Dar’u Ta’arudhil Aqli wan Naqli, 2/16)
Al-Imam al-Maqrizi t berkata, “Sesungguhnya, setelah al-Asy’ari keluar dari Mu’tazilah dan melontarkan bantahan terhadap mereka, beliau mengikuti akidah Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Said bin Kullab al-Qaththan dan berpijak di atas kaidah-kaidahnya.” (al-Khuthath karya al-Imam al-Maqrizi 4/191)
Lebih rinci, al-Imam Ibnu Katsir t berkata, “Fase kedua (yang dilalui oleh Abul Hasan al-Asy’ari) adalah menetapkan tujuh sifat ‘aqliyah bagi Allah l, yaitu al-hayat, al-ilmu, al-qudrah, al-iradah, as-sam’u, al-bashar, dan al-kalam. Di sisi lain, beliau menakwilkan (memalingkan dari makna yang sebenarnya) sifat khabariyah, seperti wajah, kedua tangan, kaki, betis, dan yang semisalnya.” (Thabaqatul Fuqaha’‘Indas Syafi’iyyah, dinukil dari Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 35)
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t, Ibnu Kullab (baca: kelompok Kullabiyah) menetapkan sifat-sifat wajib bagi Allah l, seperti al-ilmu, al-qudrah, al-hayat, dan yang semisalnya, namun mengingkari sifat-sifat fi’liyah (perbuatan) Allah l yang berkaitan dengan kehendak dan takdir-Nya, seperti sifat datang dan yang semisalnya. (Lihat Dar’u Ta’arudhil Aqli wan Naqli, 2/6)
Dari sini dapat disimpulkan bahwa pada fase kedua ini al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t menetapkan sebagian sifat bagi Allah l (sifat wajib yang tujuh), menakwilkan sifat khabariyyah, dan mengingkari sifat fi’liyah (perbuatan) Allah l yang berkaitan dengan kehendak dan takdir-Nya. Jadi, beliau berada di antara kelompok Mu’tazilah yang mengingkari semua sifat Allah l dan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang menetapkan semua sifat-sifat Allah l.
Setelah berlalu sekian masa, al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t semakin mendekat kepada para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Akhirnya, beliau meninggalkan akidah Kullabiyah dan berpegang teguh dengan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Itulah fase ketiga kehidupan beragama beliau.
Pada fase ketiga ini, beliau banyak berguru kepada para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, seperti al-Muhaddits al-Musnid Abu Khalifah al-Fadhl al-Jumahi al-Bashri, al-Qadhi Abul Abbas Ahmad bin Suraij al-Baghdadi—panutan mazhab Syafi’i di masa itu—, al-Imam al-Hafizh Abu Yahya Zakaria bin Yahya as-Saji—pakar hadits Kota Bashrah—, dan al-Faqih Abu Ishaq Ibrahim bin Ahmad bin Ishaq al-Marwazi—rujukan utama dalam hal fatwa dan ilmu di masa itu. (Lihat Tabyin Kadzibil Muftari, hlm. 35, dan Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 46—47)
Al-Imam Ibnu Katsir t berkata, “Fase ketiga (yang dilalui oleh Abul Hasan al-Asy’ari) adalah menetapkan semua sifat-sifat Allah l, tanpa menganalogikan dan menyamakannya dengan sesuatu pun, sebagaimana prinsip as-salafush shalih. Demikianlah prinsip yang beliau torehkan dalam kitab al-Ibanah5, karya beliau yang terakhir.” (Thabaqatul Fuqaha’‘Indas Syafi’iyyah, dinukil dari Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 35)
Asy-Syaikh Muhibbuddin al-Khatib t berkata, “Kemudian al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t membersihkan jalan yang ditempuhnya dan mengikhlaskannya karena Allah l dengan rujuk (kembali) secara total kepada jalan yang ditempuh oleh as-salafush shalih… dan para ulama yang menyebutkan biografi beliau t menyatakan bahwa al-Ibanah adalah karya tulis beliau yang terakhir.” (Catatan kaki kitab al-Muntaqa min Minhajil I’tidal hlm. 41, dinukil dari Muqaddimah kitab Risalah ila Ahlits Tsaghr bi Babil Abwab, hlm. 36)
Keterangan di atas adalah bantahan terhadap orang yang mengklaim bahwa al-Ibanah adalah kitab yang dipalsukan atas nama al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t. Demikian pula, ini adalah bantahan terhadap orang yang mengklaim bahwa al-Ibanah bukanlah karya tulis beliau yang terakhir. Tujuan mereka tiada lain adalah pengaburan sejarah agar umat tetap berada di atas mazhab Asy’ari yang hakikatnya adalah mazhab Kullabiyah—sebuah mazhab yang telah ditinggalkan oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t.
Setelah menyebutkan beberapa nukilan dari para imam terkemuka6 tentang sahnya penyandaran kitab al-Ibanah kepada al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t, asy-Syaikh Hammad bin Muhammad al-Anshari t mengatakan, “Beberapa nukilan yang tegas dari para imam terkemuka ini—yang dua ekor kambing tidak saling beradu tanduk karenanya dan dua orang takkan berselisih karenanya pula—menunjukkan bahwa kitab al-Ibanah bukanlah kitab yang dipalsukan atas nama al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t, sebagaimana halnya klaim para anak muda dari kalangan ahli taklid. Bahkan, kitab tersebut merupakan karya tulis beliau yang terakhir. Beliau tetap kokoh di atas kandungan kitab tersebut, yaitu akidah salaf yang bersumber dari al-Qur’anul Karim dan Sunnah Nabi n.” (al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari, hlm. 72)
Satu hal yang penting untuk diingatkan bahwa mazhab yang hingga hari ini dikenal dengan sebutan mazhab Asy’ari atau ASWAJA, tiada lain adalah kelanjutan dari mazhab Kullabiyah, yang telah ditinggalkan oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari sendiri. Bahkan, dengan tegas beliau menyatakan bahwa beliau berada di atas jalan Rasulullah n dan as-salafush shalih, sejalan dengan al-Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal t, dan menyelisihi siapa saja yang berseberangan dengan beliau7. Hal ini sebagaimana yang beliau torehkan dalam kitab al-Ibanah.
Bisa jadi, di antara pembaca ada yang bertanya, bisakah disebutkan contoh pernyataan al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t yang ditorehkan dalam kitab al-Ibanah itu?
Jika demikian, perhatikanlah dengan saksama pernyataan beliau berikut ini, “Prinsip yang kami nyatakan dan agama yang kami yakini adalah berpegang teguh dengan Kitab Suci (al-Qur’an) yang datang dari Rabb kami k dan Sunnah Nabi Muhammad n, serta apa yang diriwayatkan dari para sahabat, tabi’in, dan para imam Ahlul Hadits. Kami berprinsip dengannya dan menyatakan seperti apa yang dinyatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal—semoga Allah l menyinari wajahnya, mengangkat derajatnya, dan membesarkan pahalanya. Kami menyelisihi siapa saja yang berseberangan dengan beliau karena beliau adalah seorang imam yang mulia dan pemimpin yang utama. Allah l menampakkan kebenaran dengan beliau di kala muncul kesesatan. Dengan sebab beliau pula, Allah l memperjelas jalan yang lurus, menghancurkan bid’ah yang diciptakan oleh ahli bid’ah, penyimpangan orang-orang yang menyimpang, dan keraguan orang-orang yang bimbang. Semoga rahmat Allah l selalu tercurahkan kepada beliau, imam yang terkemuka, mulia lagi agung, dan besar lagi terhormat.” (al-Ibanah hlm. 20—21)
Bisa jadi pula, ada yang bertanya, semisal apakah prinsip keyakinan al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t yang sejalan dengan prinsip salaf, Ahlus Sunnah wal Jamaah, dan bertentangan dengan prinsip Mu’tazilah (fase pertama beliau) dan prinsip Kullabiyah/Asy’ariyah/ASWAJA (fase kedua beliau)?
Tentang hal ini, al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t menyebutkannya secara terperinci dalam kitab al-Ibanah. Di antaranya adalah keyakinan beliau bahwa Allah l dapat dilihat di akhirat kelak dengan mata kepala, keyakinan bahwa al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah l) bukan makhluk, keyakinan bahwa Allah l berada di atas Arsy bukan di mana-mana, dan sebagainya. Semua itu bertentangan dengan prinsip Mu’tazilah (fase pertama beliau) dan juga prinsip Kullabiyah/Asy’ariyah/ASWAJA (fase kedua beliau). Untuk lebih rincinya, silakan Anda membaca kitab al-Ibanah.
Oleh karena itu, tidaklah adil manakala menyandarkan suatu keyakinan/prinsip/mazhab kepada al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t selain apa yang beliau torehkan dalam kitab al-Ibanah yang mulia, mengingat bahwa itulah potret akhir dari kehidupan beragama yang beliau yakini. Beliau pun berharap bertemu dengan Allah l di atasnya.
Para pembaca yang mulia. Demikianlah tiga fase keyakinan yang dilalui oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t dalam kehidupan beragama yang penuh kesan. Perjalanan hidup yang sarat akan pengajaran berharga (ibrah) dan renungan. Dari satu keyakinan menuju keyakinan berikutnya, demi mencari kebenaran. Semuanya beliau lalui dengan penuh kesungguhan dan kesabaran. Manakala tampak bagi beliau sebuah kebatilan, tiada enggan beliau tinggalkan. Manakala tampak sebuah kebenaran, tiada enggan pula beliau berpegang teguh dengannya selama hayat masih dikandung badan. Begitulah seharusnya yang terpatri dalam sanubari setiap insan dalam menyikapi kebatilan dan kebenaran di tengah kehidupan dunia yang penuh cobaan.
Akhir kata, sungguh rajutan kata-kata seputar al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t di atas belum cukup menggambarkan sosok seorang imam terkemuka yang diliputi oleh keutamaan dan kemuliaan. Namun, semoga yang sedikit ini dapat bermanfaat dan berkesan bagi setiap insan yang haus akan kebenaran.
Wallahul musta’an.
Catatan Kaki:
1 Kuniah adalah sebutan untuk seseorang selain nama dan julukannya, seperti Abul Hasan dan Ummul Khair. Kuniah biasanya didahului oleh kata abu (ayah), ummu (ibu), ibnu (putra), akhu (saudara laki-laki), ukhtu (saudara perempuan), ammu (paman dari pihak ayah), ammatu (bibi dari pihak ayah), khalu (paman dari pihak ibu), atau khalatu (bibi dari pihak ibu). Terkadang, kuniah disebutkan bersama nama dan julukan seseorang, dan terkadang pula disebutkan secara tersendiri. Di kalangan bangsa Arab, kuniah digunakan sebagai panggilan kehormatan bagi seseorang. (Lihat al-Mu’jamul Wasith 2/802)
2 Al-Asy’ar adalah julukan bagi Nabt bin Udad bin Zaid bin Yasyjub bin ‘Uraib bin Zaid bin Kahlan bin Saba’ bin Yasyjub bin Ya’rub bin Qahthan. Al-Asy’ar artinya seorang yang banyak rambutnya. Ia disebut demikian karena tubuhnya ditumbuhi oleh rambut sejak dilahirkan oleh ibunya. (Lihat Nasab Ma’d wal Yaman al-Kabir 1/27)
3 Julukan tersebut muncul di hari kematian beliau, saat manusia saling berucap, “Telah meninggal dunia pada hari ini Nashiruddin (Pembela Agama).” (Lihat Tabyin Kadzibil Muftari karya al-Imam Ibnu Asakir, hlm. 375)
4 Untuk mengetahui hakikat kelompok sesat Mu’tazilah, silakan baca rubrik “Manhaji” Majalah Asy-Syari’ah Vol. 1/No. 09/1425 H/2004.
5 Judul lengkapnya adalah al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah.
6 Di antara mereka adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, al-Imam Ibnu Asakir, al-Imam al-Baihaqi, al-Imam Ibnul Qayyim, dll.
7 Perlu diketahui, mazhab Asy’ari atau ASWAJA atau Kullabiyah, semuanya berseberangan dengan prinsip yang diyakini oleh al-Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal t. Dengan demikian, berseberangan pula dengan prinsip yang diyakini oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t. Tajuddin as-Subki t—seorang tokoh mazhab Syafi’i—berkata, “Abul Hasan al-Asy’ari adalah tokoh besar Ahlus Sunnah setelah al-Imam Ahmad bin Hanbal. Akidah beliau adalah akidah al-Imam Ahmad t, tiada keraguan dan kebimbangan padanya. Inilah yang ditegaskan berkali-kali oleh Abul Hasan al-Asy’ari dalam beberapa karya tulis beliau.” (Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra 4/236)

Biografi Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari (260-324 H)


Beliau adalah al-Imam Abul Hasan Ali bin Ismail bin Abu Bisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari Abdullah bin Qais bin Hadhar. Abu Musa Al-Asy’ari adalah salah seorang sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang masyhur.
Beliau -Abul Hasan Al-Asy’ari- Rahimahullah dilahirkan pada ta­hun 260 H di Bashrah, Irak.
Beliau Rahimahullah dikenal dengan kecerdasannya yang luar biasa dan ketajaman pemahamannya. Demi­kian juga, beliau dikenal dengan qana’ah dan kezuhudannya.
Guru-gurunya
Beliau Rahimahullah mengambil ilmu kalam dari ayah tirinya, Abu Ali al-Jubai, seorang imam kelompok Mu’tazilah.
Ketika beliau keluar dari pemikiran Mu’tazilah, beliau Rahimahullah memasuki kota Baghdad dan mengambil hadits dari muhaddits Baghdad Zakariya bin Yahya as­-Saji. Demikian juga, beliau belajar kepada Abul Khalifah al-Jumahi, Sahl bin Nuh, Muhammad bin Ya’qub al-Muqri, Abdurrahman bin Khalaf al-Bashri, dan para ula­ma thabaqah mereka.
Taubatnya dari aqidah Mu’tazilah
Al-Hafizh Ibnu Asakir ber­kata di dalam kitabnya Tabyin Kadzibil Muftari fima Nusiba ila Abil Hasan al-Asy’ari, ”Abu Bakr Ismail bin Abu Muhammad al­-Qairawani berkata, ‘Sesungguh­nya Abul Hasan al-Asy’ari awalnya mengikuti pemikiran Mu’tazilah selama 40 tahun dan jadilah beliau seorang imam mereka. Suatu saat beliau menyepi dari manusia selama 15 hari, sesudah itu beliau kembali ke Bashrah dan shalat di masjid Jami’ Bashrah. Seusai shalat Jum’at beliau naik ke mimbar se­raya mengatakan:
Wahai manusia, sesungguhnya aku menghilang dari kalian pada hari-hari yang lalu karena aku melihat suatu permasalahan yang dalil-dalilnya sama-­sama kuat sehingga tidak bisa aku tentukan mana yang haq dan mana yang batil, maka aku memohon pe­tunjuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga Allah memberikan petunjuk kepada­ku yang aku tuliskan dalam kitab- kitabku ini, aku telah melepaskan diriku dari semua yang sebelum­nya aku yakini, sebagaimana aku lepaskan bajuku ini.
Beliau pun melepas baju beliau dan beliau serahkan kitab-kitab tersebut kepada manusia. Ketika ahlul hadits dan fiqh membaca kitab-kitab tersebut me­reka mengambil apa yang ada di dalamnya dan mereka mengakui kedudukan yang agung dari Abul Hasan al-Asy’ari dan menjadikan­nya sebagai imam.’”
Para pakar hadits (Ashhabul hadits) sepakat bahwa Abul Hasan al-Asy’ari adalah salah seorang imam dari ashhabul hadits.
Beliau ber­bicara pada pokok-pokok agama dan membantah orang-orang menye­leweng dari ahli bid’ah dan ahwa’ dengan menggunakan al-Qur’an dan Hadits dengan pemahaman para sahabat. Beliau adalah pedang yang terhu­nus atas Mu’taziah, Rafidhah, dan para ahli bid’ah.
Abu Bakr bin Faurak berkata, ”Abul Hasan al-Asy’ari keluar dari pemikiran Mu’tazilah dan mengikuti madzhab yang sesuai dengan para sahabat pada tahun 300 H.”
Abul Abbas Ahmad bin Mu­hammad bin Khalikan berkata dalam kitabnya, Wafayatul A’yan (2/446), ”Abul Hasan al-Asy’ari awalnya mengikuti pemikiran Mu’tazilah kemudian bertaubat.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir berka­ta dalam kitabnya, al-Bidayah wan Nihayah (11/187), “Sesungguhnya Abul Hasan al-Asy’ari awalnya adalah seorang Mu’tazilah kemu­dian bertaubat dari pemikiran Mu’tazilah di Bashrah di atas mimbar, kemudian beliau tampakkan aib-aib dan kebobrokan pemikiran Mu’tazilah.”
Al-Hafizh adz-Dzahabi ber­kata dalam kitabnya, al-Uluw lil Aliyyil Ghaffar, ”Abul Hasan al­Asy’ari awalnya seorang Mu’tazilah mengambil ilmu dari Abu Ali al-­Juba’i, kemudian beliau lepaskan pemikiran Mu’tazilah dan jadilah beliau mengikuti Sunnah dan mengikuti para imam ahli hadits.”
Tajuddin as-Subki berkata dalam kitabnya, Thabaqah Syafi­’iyyah al-Kubra (2/246), ”Abul Hasan al-Asy’ari -mengikuti pe­mikiran Mu’tazilah selama 40 tahun hingga menjadi imam ke­lompok Mu’tazilah. Ketika Alloh menghendaki membela agama­Nya dan melapangkan dada beliau untuk ittiba’ kepada al-Haq maka beliau menghilang dari manusia di rumahnya.” (Kemudian Tajuddin as-Subki menyebutkan apa yang dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu Asakir di atas).
Ibnu Farhun al-Maliki berkata dalam kitabnya Dibajul Madz­hab fi Ma’rifati A’yani Ulama’il Madzhab (hal. 193), ”Abul Hasan al-Asy’ari awalnya adalah seorang Mu’tazilah, kemudian keluar dari pemikiran Mu’tazilah kepada madzhab yang haq madzhabnya para sahabat. Banyak yang heran dengan hal itu dan bertanya se­babnya kepada beliau, Maka be­liau menjawab bahwa beliau pada bulan Ramadhan bermimpi bertemu Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam yang memerintahkan ke­pada beliau agar kembali kepada kebenaran dan membelanya, dan demikianlah kenyataannya -walhamdulillahi Taala-.”
Murtadha az-Zabidi berkata dalam kitabnya Ittihafu Sadatil Muttaqin bi Syarhi Asrari lhya’ Ulumiddin (2/3), ”Abul Hasan al-Asy’ari mengambil ilmu kalam dari Abu Ali al-Jubba’i (tokoh Mu’tazilah), kemudian beliau tinggalkan pemikiran Mu’tazilah dengan sebab mimpi yang beliau lihat, beliau keluar dari Mu’tazilah secara terang-terangan, beliau naik mimbar Bashrah pada hari Jum’at dan menyeru dengan lantang, ‘Barangsiapa yang telah mengenaliku maka sungguh telah tahu siapa diriku dan barangsiapa yang belum kenal aku maka aku adalah Ali bin Ismail yang dulu aku mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk, bahwasanya Allah tidak bisa dilihat di akhirat dengan mata, dan bah­wasanya para hamba menciptakan perbuatan-perbuatan mereka. Dan sekarang lihatlah aku telah bertau­bat dari pemikiran Mu’tazilah dan meyakini bantahan atas mereka,’ kemudian mulailah beliau mem­bantah mereka dan menulis yang menyelisih pemikiran mereka.”
Kemudian az-Zabidi berkata, “Ibnu Katsir berkata,
‘Para ulama menyebutkan bahwa Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari memiliki tiga fase pemikiran:
Pertama mengikuti pemikiran Mu’tazilah yang kemu­dian beliau keluar darinya,
Kedua menetapkan tujuh sifat aqliyyah, yaitu; Hayat, Ilmu, Qudrah, Iradah, Sama’, Bashar, dan Kalam, dan beliau menakwil sifat-sifat khabariyyah seperti wajah, dua tangan, telapak kaki, betis, dan yang semisalnya.
Ketiga adalah menetapkan semua sifat Allah tan­pa takyif dan tasybih sesuai man­haj para sahabat yang merupakan metode beliau dalam kitabnya al-Ibanah yang beliau tulis belakangan.’”
Murid-muridnya
Di antara murid-muridnya adalah Abul Hasan al-Bahili, Abul Hasan al-Karmani, Abu Zaid al­-Marwazi, Abu Abdillah bin Mu­jahid al-Bashri, Bindar bin Husain asy-Syairazi, Abu Muhammad al­-Iraqi, Zahirbin Ahmad as-Sara­khsyi, Abu Sahl Ash-Shu’luki, Abu Nashr al-Kawwaz Asy-Syairazi, dan yang lainnya.
Tulisan-tulisannya
Di antara tulisan-tulisan be­liau adalah: al-Ibanah an Ushuli Diyanah, Maqalatul Islamiyyin, Risalah Ila Ahli Tsaghr, al-Luma’ fi Raddi ala Ahlil Bida’, al-Mujaz, al-Umad fi Ru’yah, Fushul fi Raddi alal Mulhidin, Khalqul A’mal, Kita­bush Shifat, Kitabur Ruyah bil Ab­shar, al-Khash wal ‘Am, Raddu Alal Mujassimah, Idhahul Burhan, asy­-Syarh wa Tafshil, an-Naqdhu alal Jubai, an-naqdhu alal Balkhi, Jum­latu Maqalatil Mulhidin, Raddu ala lbni Ruwandi, al-Qami’ fi Raddi alal Khalidi, Adabul Jadal, Jawabul Khurasaniyyah, Jawabus Sirafiyyin, Jawabul Jurjaniyyin, Masail Mantsurah Baghdadiyyah, al- Funun fi Raddi alal Mulhidin, Nawadir fi Daqaiqil Kalam, Kasyful Asrar wa Hatkul Atsar, Tafsirul Qur’an al­-Mukhtazin, dan yang lainnya.
al-Imam Ibnu Hazm Rohimahullah berkata, “al-Imam Abul Hasan al-­Asy’ari memiliki 55 tulisan.
Di antara perkataan-­perkataannya
  • al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari Rohimahullah berkata dalam kitabnya al-Ibanah an Ushuli Diyanah hal. 17: Apabila seseorang bertan­ya, “Kamu mengingkari perkataan Mu’tazilah, Qadariyyah, Jahmi­yyah, Haruriyyah, Rafidhah, dan Murji’ah. Maka terangkan kepada kami pendapatmu dan keyaki­nanmu yang engkau beribadah ke­pada Allah dengannya!” Jawablah, “Pendapat dan keyakinan yang kami pegangi adalah berpegang teguh dengan kitab Rabb kita, sunnah Nabi kita Shalallahu ‘alaihi wasallam dan apa yang diriwayatkan dari para sahabat, tabi’in, dan para ahli hadits. Kami berpegang teguh dengannya. Dan berpendapat dengan apa yang di­katakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal.”
Ringkas perkataan kami bah­wasanya kami beriman kepada Allah, para malaikatNya, kitab-­kitabNya, para rasulNya, dan apa yang dibawa oleh mereka dari sisi Allah dan apa yang diriwayatkan oleh para ulama yang terpercaya dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, kami tidak akan menolak sedikitpun. Sesung­guhnya Allah adalah Ilah yang Esa, tiada sesembahan yang berhak di­ibadahi kecuali Dia, Dia Esa dan tempat bergantung seluruh makh­luk, tidak membutuhkan anak dan istri. Dan bahwasanya Muham­mad Shalallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba dan urusan­Nya. Allah mengurusnya dengan membawa petunjuk dan dien yang benar. Surga dan neraka benar adanya. Hari kiamat pasti datang, tidak ada kesamaran sedikitpun. Dan Allah akan membangkitkan yang ada di kubur. Allah berse­mayam di atas Arsy seperti dalam firmanNya:
“Alloh bersemayam di atas ‘Arsy”. (QS. Thaha: 5)
Allah. memiliki dua tangan, tapi tidak boleh ditakyif, seperti dalam firmanNya:
“Telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku”. (QS. Shad: 75) dan fir­manNya
“Tetapi kedua-dua tangan Alloh ter­buka.” (QS. al-Maidah: 64)
Allah memiliki dua mata tanpa di­takyif, seperti dalam firmanNya:
“Yang berlayar dengan pengawasan mata Kami.” (QS. al-Qamar: 14)
Siapa yang menyangka bahwa nama-nama Allah bukanlah Al­lah maka sungguh dia sesat, Allah berilmu seperti dalam firmanNya
“Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan ilmu-Nya.” (QS. Fathir: 11)
Kita menetapkan bahwa Allah mendengar dan melihat, kita tidak menafikannya seperti dilakukan oleh orang-orang Mu’tazilah, Jah­miyyah, dan Khawarij.”
  • Beliau berkata dalam kitab­nya Maqalatul lslamiyyin wa lkhti­lafil Mushallin hal. 290: Kesim­pulan apa yang diyakini oleh ahli hadits dan Sunnah bahwasanya mereka mengakui keimanan kepa­da Allah, para malaikatNya, kitab­-kitabNya, para rasulNya, dan apa yang dibawa oleh mereka dari sisi Allah dan apa yang diriwayatkan oleh para ulama yang terpercaya dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, mereka tidak akan menolak sedikitpun. Dan bahwasanya Allah adalah Ilah yang Esa, tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Dia, Dia Esa dan tempat bergantung seluruh makh­luk, tidak membutuhkan anak dan istri. Dan bahwasanya Muham­mad Shalallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba dan utusan­Nya.
Mereka memandang wajib­nya menjauhi setiap penyeru kepada kebid’ahan dan hendaknya menyibukkan diri dengan mem­baca al-Qur’an, menulis atsar-­atsar, dan menelaah fiqih, dengan selalu tawadhu’, tenang, berakhlak yang baik, menebar kebaikan, menahan diri dari mengganggu orang lain, meninggalkan ghibah dan namimah, dan berusaha mem­perhatikan keadaan orang yang kekurangan.
Inilah kesimpulan dari apa, yang mereka perintahkan, amalkan, dan mereka pandang, dan kami mengatakan sebagaimana yang kami sebutkan dari mereka dan kepada ini semua kami ber­madzhab, dan tidaklah kami mendapatkan taufiq kecuali dari Allah.”
Wafatnya
al-Imam Abul Hasan al­-Asy’ari wafat di Baghdad pada tahun 324 H. Semoga Allah meridhoi­nya dan menempatkannya dalam keluasan jannahNya.
Sumber: Siyar A’lamin Nubala’ oleh Adz­-Dzahabi 15/85-90, dan Tarjamah Abul Hasan al-Asy’ari.
            
Namanya Abul al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy'ari keturunan dari Abu Musa al-Asy'ari, salah seorang perantara dalam sengketa antaraAli bin Abi Thalib dan Mu'awiyah. Al-Asy'ari lahir tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M [1] Al-Asy'ari lahir di Basra, namun sebagian besar hidupnya di Baghdad. pada waktu kecilnya ia berguru pada seorang Mu'tazilah terkenal, yaitu Al-Jubbai, mempelajari ajaran-ajaran Muktazilah dan mendalaminya. Aliran ini diikutinya terus ampai berusia 40 tahun, dan tidak sedikit dari hidupnya digunakan untuk mengarang buku-buku kemuktazilahan. namun pada tahun 912 dia mengumumkan keluar dari paham Mu'tazilah, dan mendirikan teologi baru yang kemudian dikenal sebagai Asy'ariah.Ketika mencapai usia 40 tahun ia bersembunyi di rumahnya selama 15 hari, kemudian pergi ke Masjid Basrah. Di depan banyak orang ia menyatakan bahwa ia mula-mula mengatakan bahwa Quran adalah makhluk; Allah Swt tidak dapat dilihat mata kepala; perbuatan buruk adalah manusia sendiri yang memperbuatnya (semua pendapat aliran Muktazilah). Kemudian ia mengatakan: "saya tidak lagi memegangi pendapat-pendapat tersebut; saya harus menolak paham-paham orang Muktazilah dan menunjukkan keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahanya".[1]
Beliau cenderung kepada pemikiran Aqidah Ahlussunnah Wal jama'ah dan telah mengembangkan ajaran seperti sifat Allah 20. Banyak tokoh pemikir Islam yang mendukung pemikiran-pemikiran dari imam ini, salah satunya yang terkenal adalah "Sang hujjatul Islam" Imam Al-Ghazali, terutama di bidang ilmu kalam/ilmu tauhid/ushuludin.
Walaupun banyak juga ulama yang menentang pamikirannya,tetapi banyak masyarakat muslim yang mengikuti pemikirannya. Orang-orang yang mengikuti/mendukung pendapat/faham imam ini dinamakan kaum/pengikut "Asyariyyah", dinisbatkan kepada nama imamnya. Di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim banyak yang mengikuti paham imam ini, yang dipadukan dengan paham ilmu Tauhid yang dikembangkan oleh Imam Abu Manshur Al-Maturidi. Ini terlihat dari metode pengenalan sifat-sifat Allah yang terkenal dengan nama "20 sifat Allah", yang banyak diajarkan di pesantren-pesantren yang berbasiskan Ahlussunnah Wal Jama'ah danNahdhatul Ulama (NU) khususnya, dan sekolah-sekolah formal pada umumnya.

Karya-karyanya[sunting | sunting sumber]

Ia meninggalkan karangan-karangan, kurang lebih berjumlah 90 buah dalam berbagai lapangan.[1] Kitabnya yang terkenal ada tiga :
  1. Maqalat al-Islamiyyin
  2. Al-Ibanah 'an Ushulid Diniyah
  3. Al-Luma[1]
Kitab-kitab lainnya:
  1. Idhāh al-Burhān fi ar-Raddi 'ala az-Zaighi wa ath-Thughyān
  2. Tafsir al-Qur'ān (Hāfil al-Jāmi')
  3. Ar-Radd 'ala Ibni ar-Rāwandi fi ash-Shifāt wa al-Qur'ān
  4. Al-Fushul fi ar-Radd 'ala al-Mulhidin wa al-Khārijin 'an al-Millah
  5. Al-Qāmi' likitāb al-Khālidi fi al-Irādah
  6. Kitāb al-Ijtihād fi al-Ahkām
  7. Kitāb al-Akhbār wa Tashhihihā
  8. Kitāb al-Idrāk fi Fununi min Lathif al-Kalām
  9. Kitāb al-Imāmah
  10. At-Tabyin 'an Ushuli ad-Din
  11. Asy-Syarhu wa at-Tafshil fi ar-Raddi 'ala Ahli al-Ifki wa at-Tadhlil
  12. Al-'Amdu fi ar-Ru'yah
  13. Kitāb al-Maujiz
  14. Kitāb fi Khalqi al-A'māl
  15. Kitāb ash-Shifāt
  16. Kitāb ar-Radd 'ala al-Mujassimah
  17. An-Naqdh 'ala al-Jubbā'i
  18. An-Naqdh 'ala al-Balkhi
  19. Jumal Maqālāt al-Mulhidin
  20. Kitāb fi ash-Shifāt
  21. Adab al-Jidal
  22. Al-Funan fi ar-Raddhi 'ala al-Mulhidin
  23. An-Nawādir fi Daqaiqi al-Kalām
  24. Jawāz Ru'yat Allah bil Abshār
  25. Risālah ila Ahli Ats-Tsughar]

Khusus kepada mereka yang JUJUR dan BENAR-BENAR ingin memahami tentang jawaban dari dakwaan golongan Wahabi mengenai al-Imam Abu al-Hasan al-Asy`ari bertaubat dari manhaj yang disusun oleh beliau sekarang ini. Kami sediakan artikel ini agar kekeliruan yang dicetuskan oleh golongan Wahabi ini dapat dipadamkan. Artikel ini perlu dibaca sehingga habis, jika tidak maka anda tidak akan faham. Baca perlahan-lahan, seksama dan hindarkan membaca dalam keadaan emosi.
Ada artikel yang tersebar di kalangan sebagian pakar, khususnya di kalangan golongan wahhabi yang mengatakan bahwa perjalanan pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari melalui tiga fase perkembangan dalam kehidupan beliau. (Lihat Mauqif Ibn Taimiyah min al-Asya`irah, Abd al-Rahman bin Saleh al-Mahmud(1995), Maktabah al-Rusyd, Riyadh, hal. 378.)
Pertama: Fase ketika al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari mengikuti fahaman Muktazilah dan menjadi salah satu tokoh Muktazilah hingga berusia 40 tahun. 
Kedua: Fase di mana al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari keluar dari aliran Muktazilah dan merintis mazhab pemikiran teologis (ilmu akidah) dengan mengikuti mazhab Ibn Kullab.
Ketiga: Fase di mana al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari keluar daripada mazhab yang dirintisnya yaitu mengikuti mazhab Ibn Kullab dan kembali kepada Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah yang mengikut manhaj Salaf al-Salih dengan mengarang sebuah kitab yang berjudul al-Ibanah `an Usul al-Diyanah.
Berdasarkan hal ini, golongan Wahabi membuat kesimpulan bahwa mazhab al-Asy`ari yang berkembang dan diikuti oleh mayoritas kaum muslimin hingga dewasa ini adalah pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari pada fase kedua yaitu mengikuti mazhab Ibn Kullab yang bukan merupakan pemahaman Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah dan telah dibuang oleh al-Imam al-Asy`ari, dengan kitab terakhir yang ditulis oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari yaitu al-Ibanah `an Usul al-Diyanah.
Dengan demikian, mazhab al-Asy`ari yang ada sekarang sebenarnya mengikuti mazhab Ibn Kullab yang bukan dari faham Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah dan tidak mengikuti mazhab al-Asy`ari dalam fase ketiga yang asli yaitu Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah. Inilah kenyataan dari artikel yang direka oleh golongan Wahabi/Salafi. Dakwaan ini disebar secara menyeluruh oleh mereka pada dewasa ini.
Karena itu, artikel yang dibuat oleh golongan Wahhabi ini sudah tentu mempunyai banyak dusta mengenai fakta sejarah dan fakta ilmiah. Sebelum kita mengkaji artikel di atas satu persatu, ada baiknya kita memerincikan terlebih dahulu makna yang tersembunyi di balik artikel itu. Apabila hal tersebut dikaji, ada tiga makna yang tersembunyi di balik artikel tersebut.
Pertama: Perkembangan pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari melalui tiga fase di dalam kehidupannya, yaitu Muktazilah, mengikuti mazhab Ibn Kullab dan terakhir sekali, beliau kembali kepada ajaran Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah. Ini adalah artikel pokok yang dipropagandakan oleh golongan Wahabi. Artikel ini menyembunyikan dua artikel di baliknya.
Kedua: Abdullah bin Sa`id bin Kullab bukan pengikut Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah.
Ketiga: Kitab al-Ibanah `an Usul al-Diyanah merupakan fase terakhir dalam kehidupan al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari yaitu fase kembalinya al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari kepangkuan ajaran Salaf al-Salih atau Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah.

SANGGAHAN / BANTAHAN

PERTAMA, BENARKAH IMAM ABU HASAN AL-ASY’ARI MELALUI TIGA FASE PEMIKIRAN ?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mengamati dan mengkaji sejarah kehidupan al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari yang ditulis oleh para alim ulama’. Al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari merupakan salah seorang tokoh kaum Muslimin yang sangat masyhur dan mempunyai fakta yang jelas. Beliau bukan tokoh kontroversial dan bukan tokoh yang misteri yaitu perjalanan hidupnya tidak diketahui orang, lebih-lebih lagi berkaitan dengan hal yang amat penting seperti yang kita bicarakan ini. Seandainya kehidupan al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari seperti kenyataan dalam artikel yang direkayasa oleh Wahhabi/Salafi Palsu itu, menyatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari melalui tiga fase perkembangan pemikiran, maka sudah tentu para sejarawan akan menyatakannya dan menjelaskannya di dalam buku-buku sejarah. Maklumat mengenai ini juga sudah pasti akan masyhur dan tersebar luas sebagaimana fakta sejarah hanya menyatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari hanya bertaubat dan meninggalkan faham Muktazilah saja.
Semua sejarawan yang menulis biografi al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari hanya menyatakan kisah naiknya al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari ke atas mimbar di masjid Jami` Kota Basrah dan berpidato dengan menyatakan bahwa beliau telah keluar dari faham Muktazilah. Di sini kita bertanya, adakah sejarawan yang menyatakan kisah al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari keluar dari faham pemikiran Abdullah bin Sa`id bin Kullab? Sudah tentu jawabannya, tidak ada.
Apabila kita menelaah atau meneliti buku-buku sejarah, kita tidak akan mendapatkan fakta atau maklumat yang mengatakan al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari bertaubat dari ajaran Ibn Kullab baik secara jelas maupun samar. Oleh karena itu, maklumat atau fakta yang kita dapati adalah kesepakatan para sejarawan bahwa setelah al-Imam Abu Hassan al-Asy`ari bertaubat daripada faham Muktazilah, beliau kembali kepada ajaran Salaf al-Salih seperti kitab al-Ibanah dan lain-lain yang ditulisnya dalam rangka membela mazhab Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah.

Al-Imam Abu Bakr bin Furak berkata:

“Syaikh Abu al-Hassan Ali bin Ismail al-Asy`ari radiyallahu`anhu berpindah daripada mazhab Muktazilah kepada mazhab Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah dan membelanya dengan hujjah-hujjah rasional dan menulis karangan-karangan dalam hal tersebut…” (Tabyin Kidzb al-Muftari, al-Hafiz Ibn Asakir(1347H) tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, Maktabah al-Azhariyyah li at-Turats, cet.1, 1420H, hal 104)
Sejarawan terkemuka, al-Imam Syamsuddin Ibn Khallikan berkata: “Abu al-Hassan al-Asy`ari adalah perintis pokok-pokok akidah dan berupaya membela mazhab Ahl al-Sunnah. Pada mulanya Abu al-Hassan adalah seorang Muktazilah, kemudian beliau bertaubat dari pandangan tentang keadilan Tuhan dan kemakhlukan al-Quran di masjid Jami` Kota Basrah pada hari Jum’at”. (Wafayat al-A’yan, al-Imam Ibn Khallikan, Dar Shadir, Beirut, ed. Ihsan Abbas, juz 3, hal. 284)
Sejarawan al-Hafiz al-Dzahabi berkata: “Kami mendapat informasi bahawa Abu al-Hassan al-Asy`ari bertaubat dari faham Muktazilah dan naik ke mimbar di Masjid Jami’ Kota Basrah dengan berkata, “Dulu aku berpendapat bahwa al-Quran itu makhluk dan Sekarang aku bertaubat dan bertujuan membantah terhadap faham Muktazilah”. (Siyar A`lam al-Nubala, al-Hafidz al-Dzahabi, Muassasah al-Risalah, Beirut, ed. Syuaib al-Arnauth, 1994, hal. 89)
Sejarawan terkemuka, Ibn Khaldun berkata: “Hingga akhirnya tampil Syaikh Abu al-Hassan al-Asy`ari dan berdebat dengan sebagian tokoh Muktazilah tentang masalah-masalah shalah dan aslah, lalu dia membantah metodologi mereka (Muktazilah) dan mengikut pendapat Abdullah bin Said bin Kullab, Abu al-Abbas al-Qalanisi dan al-Harits al-Muhasibi dari kalangan pengikut Salaf dan Ahl al-Sunnah”. (Ibn Khaldum(2001), al-Muqaddimah, Dar al-Fikr, Beirut,  ed. Khalil Syahadah, hal. 853)
Fakta yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun tersebut menyimpulkan bahwa setelah al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari keluar daripada faham Muktazilah, beliau mengikuti mazhab Abdullah bin Sa`id bin Kullab, al-Qalanisi dan al-Muhasibi yang merupakan pengikut ulama’ Salaf  dan Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah.
Demikian juga, fakta sejarah yang dinyatakan di dalam buku-buku sejarah yang menulis biografi al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari seperti Tarikh Baghdad karya al-Hafiz al-Khatib al-Baghdadi, Tabaqat al-Syafi`iyyah al-Kubra karya al-Subki, Syadzarat al-Dzahab karya Ibn al-Imad al-Hanbali, al-Kamil fi al-Tarikh karya Ibn al-Atsir, Tabyin Kizb al-Muftari karya al-Hafiz Ibn Asakir, Tartib al-Madarik karya al-Hafiz al-Qadhi Iyadh, Tabaqat al-Syafi`iyyah karya al-Asnawi, al-Dibaj al-Muadzahhab karya Ibn Farhun, Mir`at al-Janan karya al-Yafi`i dan lain-lain, semuanya sepakat bahwa setelah al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari keluar dari faham Muktazilah, beliau kembali kepada mazhab  Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah yang mengikuti metodologi Salaf.
Disamping itu, seandainya al-Imam Abu Hassan al-Asy`ari ini melalui tiga tahap aliran pemikiran, maka sudah tentu hal tersebut akan diketahui dan dikutip oleh murid-murid dan para pengikutnya karena mereka semua adalah orang yang paling dekat dengan al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari dan orang yang melakukan kajian tentang pemikiran dan sejarah perjalanan hidupnya. Oleh itu sudah semestinya mereka akan lebih mengetahui daripada orang lain yang bukan pengikutnya, lebih-lebih lagi melibatkan tokoh besar yaitu al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari yang pasti menjadi buah mulut pelajar dan para alim ulama’. Oleh itu jelaslah, bahwa ternyata setelah kita merujuk pada kenyataan murid-murid dan para pengikut al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari, kita tidak akan menemui fakta sejarah yang menyatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan telah melalui tiga fase pemikiran yang di dakwa oleh golongan Wahabi/Salafi Palsu.
Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari dan para pengikutnya bersepakat bahawa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan faham Muktazilah dan beliau berpindah kepada Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah seperti yang diikuti oleh al-Harits al-Muhasibi, Ibn Kullab, al-Qalanisi, al-Karabisi dan lain-lain.
Apabila kita mengkaji karya-karya para alim ulama’ yang mengikut dan pendukung mazhab al-Asy`ari seperti karya-karya yang dikarang oleh al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani, al-Syaikh Abu Bakr bin Furak, Abu Bakr al-Qaffal al-Syasyi, Abu Ishaq al-Syirazi, al-Hafiz al-Baihaqi dan lain-lain. Kita semua tidak akan menemukan satu fakta pun yang menyatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari meninggalkan mazhab yang dihidupkan kembali olehnya yaitu Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah, sehingga tidak rasional apabila golongan Wahhabi/Salafi dakwaan mengatakan al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan mazhabnya tanpa diketahui oleh para murid-muridnya dan pendukungnya. Ini adalah kenyataan yang tidak masuk akal dan dusta yang sama sekali jauh dari kebenaran.
Golongan Wahabi/Salafi gadungan ini menyatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari meninggalkan mazhab yang dirintiskan olehnya bersandarkan metodologi al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari di dalam kitabnya al-Ibanah `an Usul al-Diyanah dan sebagian kitab-kitab lainnya yang mengikuti metodologi tafwidh berkaitan sifat-sifat Allah di dalam al-Quran dan al-Sunnah. Metodologi tafwidh ini adalah metodologi mayoritas ulama’-ulama’ Salaf al-Salih. Berdasarkan hal ini, al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari dianggap  menyalahi atau meninggalkan metodologi Ibn Kullab yang tidak mengikuti metodologi salaf sebagaimana yang di dakwa oleh golongan Wahabi ini.
Dari sini lahirlah sebuah pertanyaan, apakah isi kitab al-Ibanah yang di dakwa sebagai mazhab Salaf bertentangan dengan metodologi Ibn Kullab, atau dengan kata lain, adakah Ibn Kullab bukan pengikut mazhab Salaf seperti yang ditulis oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari di dalam kitab al-Ibanah? Pertanyaan di atas membawa kepada kita untuk mengkaji kenyataan berikutnya.

KEDUA, APAKAH IBN KULLAB BUKAN ULAMA’ SALAF DAN AHL AL-SUNNAH WA AL-JAMA`AH ?

Setelah al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari meninggalkan faham Muktazilah, dia mengikuti metodologi Abdullah bin Sa`id bin Kullab al-Qaththan al-Tamimi. Artikel tersebut telah menjadi kesepakatan bagi kita dengan kelompok yang mengatakan bahwa pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari melalui tiga fase, tetapi mereka berbeda dengan kita, karena kita mengatakan bahawa metodologi Ibn Kullab sebenarnya sama dengan metodologi Salaf, kerana Ibn Kullab sendiri termasuk dalam kalangan tokoh ulama’ Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah yang mengikuti metodologi Salaf. Hal ini bisa dilihat dengan memperhatikan pernyataan para ulama’ berikut ini.
Al-Imam Tajuddin al-Subki telah berkata: “Bagaimanapun Ibn Kullab termasuk Ahl al-Sunnah, Aku melihat al-Imam Dhiyauddin al-Khatib, ayah al-Imam Fakhruddin al-Razi, menyebutkan Abdullah bin Said bin Kullab di dalam akhir kitabnya Ghayat al-Maram fi `Ilm al-Kalam, berkata: “Di antara teologi Ahl al-Sunnah pada masa khalifah al-Makmun adalah Abdullah bin Said al-Tamimi yang telah mengalahkan Muktazilah di dalam majlis al-Makmun dan memalukan mereka dengan hujjah-hujjahnya” (Al-Subki (t.t), Tabaqat al-Syafi`iyyah al-Kubra, Dar Ihya’ al-Kutub, Beirut, ed Abdul Fattah Muhammad dan Mahmud al-Tanahi, juz 2, hal. 300)
Al-Hafiz Ibn Asakir al-Dimasyqi telah berkata: “Aku pernah membaca tulisan Ali ibn Baqa’ al-Warraq, ahli hadits dari Mesir, berupa risalah yang ditulis oleh Abu Muhammad Abdullah ibn Abi Zaid al-Qairawani, seorang ahli fiqih mazhab al-Maliki. Dia adalah seorang tokoh terkemuka mazhab al-Imam Malik di Maghrib (Maroko) pada zamannya. Risalah itu ditujukan kepada Ali ibn Ahmad ibn Ismail al-Baghdadi al-Muktazili sebagai jawaban terhadap risalah yang ditulisnya kepada kalangan pengikut mazhab Maliki di Qairawan kerana telah memasukkan pandangan-pandangan Muktazilah. Risalah tersebut sangat panjang sekali, dan sebagian jawaban yang ditulis oleh Ibn Abi Zaid kepada ‘Ali bin Ahmad adalah sebagai berikut: Engkau telah menisbahkan Ibn Kullab kepada bid`ah, padahal engkau tidak pernah menceritakan satu pendapatpun dari Ibn Kullab yang membuktikan dia memang layak disebut ahli bid`ah. Dan kami sama sekali tidak mengetahui adanya orang (ulama ’) yang menisbahkan Ibn Kullab kepada bid`ah. Justru fakta yang kami terima, Ibn Kullab adalah pengikut sunnah (ahl al-Sunnah) yang melakukan bantahan terhadap Jahmiyyah dan pengikut ahli bid`ah lainnya, dia adalah ‘Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab (al-Qaththan, wafat 240H)”. (Tabyin Kidzb al-Muftari oleh al-Hafiz Ibn Asakir(1347H) tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, Maktabah al-Azhariyyah li at-Turats, cet.1, 1420H, hal 298 – 299)
Data sejarah yang disampaikan oleh al-Hafiz Ibn Asakir di atas adalah kesaksian yang sangat penting dari ulama’ sekaliber al-Imam Ibn Abi Zaid al-Qairawani terhadap Ibn Kullab, bahwa ia termasuk pengikut Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah dan bukan pengikut ahli bid`ah.
Al-Hafiz al-Dzahabi telah berkata: “Ibn Kullab adalah seorang tokoh ahli kalam (teologi – ilmu yg berkaitan dengan ketuhanan) daerah Bashrah pada zamannya.” Selanjutnya al-Dzahabi berkata: Ibn Kullab adalah ahli kalam yang paling dekat kepada Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah bahkan ia adalah juru debat ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah (terhadap Mu’tazilah). Ia mempunyai karya diantaranya al-Shifat, Khalq al-Af’al dan al-Radd ‘ala al-Mu’tazilah”. (Lihat Siyar A’lam al-Nubala, Maktabah al-Shafa, cet.1, 1424H, juz 7, hal 453)
Di dalam kitab Siyar A’lam an-Nubala yang ditahqiqkan oleh Syeikh Syuaib al-Arnauth, pernyataan al-Dzahabi tersebut dipertegas oleh al-Syeikh Syuaib al-Arnauth dengan komentarnya mengatakan: “Ibn Kullab adalah pemimpin dan rujukan Ahl al-Sunnah pada masanya. Al-Imam al-Haramain menyebutkan di dalam kitabnya al-Irsyad bahwa dia termasuk sahabat kami (mazhab al-Asy`ari)”. (Siyar A’lam an-Nubala cetakan Muassasah al-Risalah (1994), Beirut, ed. Syuaib al-Arnauth, juz 11, hal. 175)
Demikian pula al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani menyatakan bahwa Ibn Kullab sebagai pengikut Salaf dalam hal meninggalkan takwil terhadap ayat-ayat dan hadith-hadith mutasyabihat yang berkaitan dengan sifat Allah. Mereka juga disebut dengan golongan mufawwidhah (yang melakukan tafwidh).(Ibn Hajar al-`Asqalani(t.t.), Lisan al-Mizan, Dar, al-Fikr, Beirut, juz 3, hal. 291)
Dari paparan di atas dapatlah disimpulkan bahawa al-Imam Ibn Kullab termasuk dalam kalangan ulama’ Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah dan konsisten dengan metodologi Salaf al-Salih dalam pokok-pokok akidah dan keimanan. Mazhabnya menjadi inspirasi al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari (perintis mazhab al-Asy`ari).
Di sini mungkin ada yang bertanya apakah metodologi Ibn Kullab hanya diikuti oleh al-Imam al-Asy`ari?
Jawabannya adalah tidak. Metodologi Ibn Kullab tidak hanya diikuti oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari saja, akan tetapi diikuti juga oleh ulama’ besar seperti al-Imam al-Bukhari yaitu pengarang Sahih al-Bukhari, kitab hadits yang menduduki peringkat terbaik dalam segi kesahihannya. Dalam konteks ini, al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani telah berkata :
“Al-Bukhari dalam semua yang disajikannya berkaitan dengan penafsiran lafaz-lafaz yang gharib (aneh), mengutipnya dari pakar-pakar bidang tersebut seperti Abu Ubaidah, al-Nahzar bin Syumail, al-Farra’ dan lain-lain. Adapun kajian-kajian fiqh, sebagian besar diambilnya dari al-Syafi’i, Abu Ubaid dan semuanya. Sedangkan permasalahan-permasalahan teologi (ilmu kalam), sebagian besar diambilnya dari al-Karrabisi, Ibn Kullab dan sesamanya”. (Ibn Hajar al-`Asqalani (t.t), Syarh Sahih al-Bukhari, Salafiyyah, Cairo, juz 1, hal. 293)
Pernyataan al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani tersebut menyimpulkan bahwa al-Imam Abdullah bin Said bin Kullab adalah Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah yang mengikuti metodologi ulama’ Salaf, oleh karena itu dia juga diikuti oleh al-Imam al-Bukhari, Abu al-Hassan al-Asy`ari dan lain-lain.
Di sini mungkin ada yang bertanya, apabila Ibn Kullab termasuk salah seorang tokoh ulama’ Salaf dan mengikuti Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah, beliau (Ibn Kullab) juga diikuti oleh banyak ulama’ seperti al-Imam al-Bukhari dan lain-lain, lalu mengapa Ibn Kullab dituduh menyimpang dari metodologi  Salaf atau Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah?
Hal tersebut sebenarnya datang dari satu persoalan, yaitu tentang pendapat apakah bacaan seseorang terhadap al-Quran termasuk makhluk atau tidak. Al-Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya berpandangan untuk tidak menetapkan apakah bacaan seseorang terhadap al-Quran itu makhluk atau bukan. Menurut al-Imam Ahmad bin Hanbal, pandangan bahwa bacaan seseorang terhadap al-Quran termasuk makhluk adalah bid`ah. Sementara al-Karabisi, Ibn Kullab, al-Muhasibi, al-Qalanisi, al-Bukhari, Muslim dan lain-lain berpandangan tegas, bahwa bacaan seseorang terhadap al-Quran adalah makhluk. Berangkat dari perbedaan pandangan tersebut akhirnya kelompok al-Imam Ahmad bin Hanbal menganggap kelompok Ibn Kullab termasuk ahli bid`ah, meskipun sebenarnya kebenaran dalam hal tersebut berada di pihak Ibn Kullab dan kelompoknya. Dalam konteks ini al-Hafiz al-Zahabi telah berkata :
“Tidak diragukan lagi bahwa pandangan yang dibuat dan ditegaskan oleh al-Karabisi tentang masalah pelafazan al-Quran (oleh pembacanya) dan bahwa hal itu adalah makhluk, adalah pendapat yang benar. Akan tetapi al-Imam Ahmad enggan membicarakannya karena khawatir membawa kepada pandangan kemakhlukan al-Quran. Sehingga al-Imam Ahmad lebih cenderung menutup pintu tersebut rapat-rapat”. (Al-Dzahabi(1994), Siyar A`lam al-Nubala, Muassasah al-Risalah, Beirut, ed, Syuaib al-Arnauth, juz 12, hal. 82 dan juga juz 11, hal. 510)
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Ibn Kullab bukanlah ulama’ yang menyimpang dari metodologi Salaf yang mengikuti faham Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah, sehingga mazhabnya juga diikuti oleh al-Imam al-Bukhari, al-Asy`ari dan lain-lain. Sekarang apabila demikian, dari mana asal-usul pendapat bahawa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan mazhab dan pendapat-pendapatnya yang mengikuti Ibn Kullab?
Pertanyaan ini mengajak kita untuk mengkaji artikel yang terakhir berikut ini.

KETIGA, KITAB AL-IBANAH ‘AN USUL AL-DIYANAH

Kitab al-Ibanah `an Usul al-Diyanah di dakwa sebagai hujjah bagi golongan yang mengatakan bahawa pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari melalui tiga fase perkembangan di dalam kehidupannya. Memang harus diakui, bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari di dalam kitab al-Ibanah dan sebagian kitab-kitab yang lain juga dinisbahkan terhadapnya mengikuti metodologi yang berbeda dengan kitab-kitab yang pernah dikarang olehnya. Di dalam kitab al-Ibanah, al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari mengikuti metodologi tafwidh yang diikuti oleh mayoritas ulama’ Salaf berkaitan dengan ayat-ayat mutasyabihat. Berdasarkan hal ini, sebagian golongan memahami bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari sebenarnya telah meninggalkan mazhabnya yang kedua yaitu mazhab Ibn Kullab, dan kini beralih kepada metodologi Salaf.
Di atas telah kami paparkan, bahawa Ibn Kullab bukanlah ahli agama yang menyalahi ulama’ Salaf. Bahkan dia termasuk dalam kalangan ulama’ Salaf dan konsisten mengikuti metodologi tafwidh sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani di dalam kitabnya Lisan al-Mizan. Paparan di atas sebenarnya telah cukup untuk membatalkan dakwaan yang mengatakan bahawa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari meninggalkan metodologi Ibn Kullab dan berpindah ke metodologi Salaf, kerana Ibn Kullab sendiri termasuk dalam kalangan ulama’ Salaf yang konsisten dengan metodologi Salaf.
Oleh itu, bagaimana dengan kitab al-Ibanah yang menjadi dasar kepada kelompok yang mengatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan pendapatnya yang mengikuti Ibn Kullab?
Di sini, dapatlah kita ketahui bahawa kitab al-Ibanah yang asli telah membatalkan kenyataan golongan Wahhabi yang mengatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan pendapatnya yang mengikuti Ibn Kullab, karena kitab al-Ibanah di tulis untuk mengikuti  metodologi Ibn Kullab, sehingga tidak mungkin  dakwaan yang mengatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan pendapat tersebut. Ada beberapa fakta sejarah yang mengatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari menulis kitab al-Ibanah dengan mengikut metodologi Ibn Kullab, kenyataan ini disebut oleh al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani di dalam kitabnya Lisan al-Mizan yaitu :
“Metodologi Ibn Kullab diikuti oleh al-Asy`ari di dalam kitab al-Ibanah”. (Ibn Hajar al-`Asqalani(t.t.), Lisan al-Mizan, Dar, al-Fikr, Beirut, juz 3, hal. 291)
Pernyataan al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani ini menambah keyakinan kita bahwa Ibn Kullab konsisten dengan metodologi Salaf al-Salih dan termasuk ulama’ mereka, karena kitab al-Ibanah yang dikarang oleh  al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari pada akhir hayatnya dan mengikuti metodologi Salaf, juga mengikuti metodologi Ibn Kullab. Hal ini membawa kepada kesimpulan bahawa metodologi Salaf dan metodologi Ibn Kullab ADALAH SAMA, dan itulah yang diikuti oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari setelah keluar dari Muktazilah.
Dengan demikian, kenyataan al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani tersebut juga telahmembatalkan dakwaan golongan Wahhabi melalui kenyataan mereka yang mengatakan bahwa pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari mengalami tiga fase perkembangan. Bahkan kenyataan tersebut dapat menguatkan lagi kenyataan yang menyatakan bahwa pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari hanya mengalami dua fase perkembangan saja, yaitu fase ketika mengikuti faham Muktazilah dan fase kembalinya al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari kepada metodologi Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah yang sebenarnya sebagaimana yang diikuti oleh Ibn Kullab, al-Muhasibi, al-Qalanisi, al-Karabisi, al-Bukhari, Muslim, Abu Tsaury, al-Tabari dan lain-lain. Dalam fase kedua ini al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari mengarang kitab al-Ibanah.
Dalil lain yang menguatkan lagi bahwa kitab al-Ibanah yang dikarang oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari sesuai dengan mengikut metodologi Ibn Kullab adalah fakta sejarah, kerana al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari pernah menunjukkan kitab al-Ibanah tersebut kepada sebagian ulama’ Hanabilah di Baghdad yang sangat menitik beratkan tentang fakta, mereka telah menolak kitab al-Ibanah tersebut karena tidak setuju terhadap metodologi al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari. Di dalam hal ini, al-Hafiz al-Zahabi telah berkata :
“Ketika al-Asy`ari datang ke Baghdad, dia mendatangi Abu Muhammad al-Barbahari (ketua mazhab Hanbali) dan berkata : Aku telah membantah al-Jubba’i. Aku telah membantah Majusi. Aku telah membantah Kristen. Abu Muhammad menjawab, Aku tidak mengerti maksud perkataanmu dan aku tidak mengenal kecuali apa yang dikatakan oleh al-Imam Ahmad. Kemudian al-Asy`ari pergi dan menulis kitab al-Ibanah. Ternyata al-Barbahari tetap tidak menerima al-Asy`ari”. (Al-Dzahabi(1994), Siyar A`lam al-Nubala, Muassasah al-Risalah, Beirut, ed, Syuaib al-Arnauth, juz 12, hal. 82 dan juga juz 15, hal. 90 dan Cetakan Maktabah al-Shafâ, cet.1, 1424H, vol.9, hal.372; Ibn Abi Ya’la al-Farra’(t.t.) Tabaqat al-Hanabilah, Salafiyyah, Cairo, ed. Hamid al-Faqi, juz 2, hal. 18)
Fakta sejarah di atas menyimpulkan, bahwa al-Barbahari mewakili kelompok Hanabilah  tidak menerima konsep yang ditawarkan oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari. Kemudian al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari menulis kitab al-Ibanah dan diajukan kepada al-Barbahari, ternyata ditolaknya juga. Hal ini menjadi bukti bahwa al-Ibanah yang asli ditulis oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari tidak sama dengan kitab al-Ibanah yang kini diikuti oleh golongan Wahhabi. Kitab al-Ibanah yang asli sebenarnya mengikut metodologi Ibn Kullab.
Perlu diketahui pula, bahwa sebelum fase al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari, kelompok Hanabilah yang cenderung kepada penelitian fakta itu telah menolak metodologi yang ditawarkan oleh Ibn Kullab, al-Bukhari, Muslim, Abu Tsaury, al-Tabari dan lain-lain berkaitan dengan MASALAH BACAAN SESEORANG TERHADAP AL-QURAN APAKAH TERMASUK MAKHLUK ATAU BUKAN.
Sekarang, apabila kitab al-Ibanah yang asli sesuai dengan metodologi Ibn Kullab, lalu bagaimana dengan kitab al-Ibanah yang tersebar dewasa ini yang menjadi dasar kaum Wahhabi untuk mendakwa bahwa al-Asy`ari telah membuang mazhabnya ?
Berdasarkan kajian yang mendalam, para pakar telah membuat kesimpulan bahwa kitab al-Ibanah yang dinisbahkan kepada al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari tersebut telah tersebar dewasa ini penuh dengan tahrif/distorsi, pengurangan dan penambahan. Terutama kitab al-Ibanah yang diterbitkan di Saudi Arabia dan ditahqiqkan oleh ulama Wahhabi. Untuk melihat bukti tahrif/distorsi yang dilakukan oleh kalangan Wahabi baca artikel ini: Pemalsuan Kitab Al-Ibanah Al-Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari.
Benar-benar wahabi memang sengaja MENYEBAR TIPU DAYA dan FITNAH pada semua umat Islam di dunia
Semoga setelah membaca dengan pelan-pelan, pikiran terbuka, tanpa ada emosi dan mengutamakan SIKAP OBYEKTIF, kita bisa lebih waspada akan apa-apa yang disampaikan oleh kaum salafy wahabi ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

macam-macam :PIDATO SERAH TERIMA CALON PENGANTIN

Hukum Mewakilkan Niat

Mendalami Al-Hikam Pasal 11 Kuburlah Eksistensimu!