Biografi Syekh Ibnu Atho'illah



Biografi Ibn ‘Ata’illah Pengarang Kitab al-Hikam

Nama lengkap Ibn ‘Ata’illah adalah Ahmad bin Muhammad bin ‘Abd Al-Karim bin ‘Ata’illah yang memiliki beberapa sebutan sebagai Taj Al-Din, Abi Al-Fadal dan Abi Al-‘Abbas. Sedangkan, Ibn ‘Ajibah memberikan panggilan tersendiri pada Ibn ‘Ata’ sebagai Al-Shaikh Al- Imam Taj Al-Din wa Turjuman Al-‘Arifin Abu Al-Fadal Ahmad bin Muhammad ibn ‘Abd Al-Karim bin ‘Abd Al-Rahman bin ‘Abdillah bin Ahmad bin ‘Isa bin Al-Husain bin ‘Ataillah Al-Sukandari Ibn ‘Ata’ dilahirkan di Iskandariah pada tahun yang tidak diketahui secara pasti tentang kelahiran maupun kematiannya, lahir sekitar tahun 658 atau 679 H dan meninggal pada tahun 707 atau 709 H. Ia sering dinisbatkan sebagai Al-Iskandarani, Al-Sukandari, Al-Sakandari atau Al-Iskandari.[1] Berasal dari kabilah Arab “Judham” yang mengikuti mazhab Maliki dan tarikat mazhab Shadiliah.[2]  
 Ibn ‘Ataillah terkenal sebagai pakar ilmu fiqh karena mengikuti disiplin ilmu yang ditekuni orang tua dan kakeknya yang terkenal juga dalam bidang yang sama. Orang tua Ibn ‘Ataillah bernama Muhammad bin ‘Abd Al-Karim bin ‘Ata’illah yang hidup seangkatan dengan pendiri tarikat Shadhiliyyah “Abi Al-Hasan Al-Shadhili, wafat tahun 656 H”. Sedangkan, nama kakeknya tidak diketahui secara pasti, namun sangat dikenal profesinya sebagai pakar dalam bidang figh, usul dan bahasa Arab. Beberapa karya tulis yang sempat mengangkat nama kakeknya, antara lain “Al-Bayan wa Al-Taqrib fi Sharh Al-Tahdhib”, dan ringkasan kitab Al-Tahdhib maupun Al-Mufassal karangan Al-Zamakhshari. Menurut Al-Suyuti, eyangnya wafat pada tahun 612 H.[3]
Secara historis Ibn ‘Ata’ sangat tidak respek dan bahkan bisa dikatakan antipati terhadap ilmu tasawwuf, karena dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Hal ini disebabkan pengaruh bapak dan kakeknya yang sejak awal juga tidak tertarik dengan tasawuf, meskipun keduanya dikenal sebagai tokoh ulama yang sangat disegani pada zamannya. Keengganan Ibn  Ata’ terhadap tasawuf bukan karena sentimen pribadi atau tidaak senang dengan beberapa ajarannya, tetapi lebih didasarkan pada ilmu dan kajian yang ditekuni selama ini, yaitu ilmu fikih dan syariat yang lebih mengandalkan kemampuan rasionya. Apalagi sebagian para pengikut tasawuf cenderung menampakkan sikap meremehkan dan tidak menghargai syariat. Hal ini diketahui ketika dilakukan diskusi kecil dengan beberapa pengikut  tasawuf yang berkembang di sekitarnya. Sebagai intelektual, akhirnya disadari kesalahan yang dilakukakan karena tanpa alasan yang jelas dan logis kenapa harus membenci tasawuf dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Apalagi secara pribadi Ibn ‘Ata’ belum pernah mendengarkan pokok-pokok pikiran tasawuf Abu Al-‘Abbas Al-Mursi sebagai mursyid dan melakukan diskusi untuk mengkaji pikiran-pikirannya secara kritis. Kesadaran ini menimbulkan penyesalan yang sangat dalam karena bertindak ceroboh dan gegabah tanpa dukungan alasan dan sebab yang jelas. Penyesalan tersebut memaksa dirinya untuk menghadiri majlis tasawuf Abu Al-‘Abbas Al-Mursi agar mendapatkan informasi dari tangan pertama dan sekaligus mengetahui sejauh apa kecanggihan ilmu sang mursyid. Hal ini dilakukan agar mendapat alasan yang ma’qul dan logis dalam mencintai atau menghindari sesuatu pengetahuan. Ketika hadir ke majlis ta’lim kebetulan ia mendengarkan Al-Mursi sedang membahas hakikat dan tingkatan jiwa atau nafsu berdasar pandangannya. Menurut Al-Mursi, ke tiga macam nafsu itu bisa saja disamakan dengan tiga tingkatan syariat, yaitu: Iman, Islam dan Ihsan. Bisa juga dinamakan Ibadah, Ubudiah dan Ubudah (ketaatan). Dapat pula disamakan dengan Syariat, Hakikat dan Tahaqquq (aktualisasi) serta dapat juga diberi nama-nama lain yang tidak terhingga--sang guru terus menyebut padanan namanya tanpa berhenti--sehingga membuat Ibn ‘Ata’ bingung, tidak bisa berpikir dan bahkan hampir hilang semua ilmu pengetahuan yang dimiliki selama ini. Kecuali suatu kesadaran yang mengakui bahwa tingkat keilmuan sang mursyid sangatlah dalam dan luas karena -kabarnya - bersumber dari limpahan emanasi Ilahiah.  Peristiwa ini menyebabkan sikap dan pikiran Ibn Ataillah berubah total dalam memandang ilmu tasawuf. Bahkan disadari sepenuhnya bahwa ilmu yang dibanggakan selama ini hampir tidak berarti apa-apa dibanding keilmuan yang dimiliki Al-Mursi. Saat itu Ibn ‘Ataillah langsung mengakui dan mengagumi ilmu hakikat yang dimiliki Al-Mursi yang konon bersumber dari ilmu-ilmu laduni yang belum pernah dikenal. Apalagi ilmu tersebut mampu memuaskan dahaga jiwanya, dibandingkan dengan ilmu fiqh yang lebih menonjolkan ratio, tetapi tidak mampu melahirkan kepuasan batinnya. Pengakuan ini melahirkan munculnya pengalaman ruhaniah yang sangat mencengangkan dalam hidupnya. Apalagi pengalaman tersebut tidak mungkin dinalar dengan akalnya yang selama ini hanya mengandalkan sisi rasionalitas dan fakta ilmiah saja. Berdasarkan pengalaman batin yang baru dialami memberikan daya tarik tersendiri kepada Ibn ‘Ata’ untuk mempelajari ilmu tasawuf dan sekaligus menjadi murid setia Al-Mursi selama 12 tahun dalam tarikat Shadiliah. Bahkan setelah kematiannya, Ibn ‘Ata’, diangkat sebagai mursyid yang meneruskan ajaran sang guru. Ibn ‘Ata’ bersama Al-Mursi dan pendiri utama tarikat Shadiliah, Abu Al-Hasan Al-Shadili, dapat dikatakan sebagai soko guru tarikat Shadiliah. Tarikat ini meskipun berbeda dengan tarikat Ibn ‘Arabi dalam bidang  wahdah al-wujud, namun ada sisi–sisi yang menghubungkan keduanya. Sebab para pendiri kedua aliran ni berguru pada seorang pakar tasawuf aliran fana yang bernama Abu  Madyan Al-Ghauth Al-Tilmasani (wafat tahun 594 H).[4]
Silakan dimanfaatkan sebaik-baiknya... Jangan sungkan menjelajah ke blog utama
 _____________________________

 [1] Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi Al-Taftazani,  Ibn ‘Ataillah Al-Sakandari  wa Tasawwufuh.  (Kairo: Maktabah Angelou Al-Misriyyah, 1969), hlm. 12.
 [2] Judham adalah Al-Hayyi Al-Thamin dari kabilah Kahlan yang memiliki hubungan keluarga hingga ke Bani Ya’rab bin Qahtn. bani Judham adalah orang- orang Arab yang pertama kali menempati Mesir di abad pertama perluasan Islam yang datang bersama “Amar bin Al-‘Ash, kemudian menyebar keseluruh penjuru  Mesir. Sedangkan bani Judhâm yang bertempat tinggal di Iskandaria cukup banyak dan dikenal sangat patriotis, intelek dan berwawasan luas sehingga memiliki hari-hari dan tempat bersejarah yang dihormati penduduk setempat (Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi Al-Taftazani, Ibn ‘Ataillah Al-Sukandari wa Tasawwufuh. (Kairo: Maktabah Angelou Al-Misriyyah, 1969),hlm. 13.
 [3] Ibn ‘Atailah Al-Skandari, Lataif Al-Minan fi Manaqib Al-Shaikh Abi Al-‘Abbas Al-Marsi wa Shaikhihi Al-Shadhili Abi Al-Hasan,  (Kairo:Tp. 1322H), 43. Ibn Farhun,  Al-
 Dibaj, 167. Al-SuyutI, Husn, I, hlm. 215
 [4]  Ibn ‘Iyad Al-Shadili, Al-Mafakhir Al-‘Aliyyah fi Al-Maathir Al-Shadili, (Mesir: Tp. 1273 H), hlm.


Karomah Ibn Athoillah
 Al-Munawi dalam kitabnya “Al-Kawakib al-Durriyyah” mengatakan: “Syaikh Kamal Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca Surat Hud sampai pada ayat yang artinya: “Diantara mereka ada yang celaka dan bahagia…”. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur Ibn Athoillah dengan keras: “Wahai Kamal… tidak ada di antara kita yang celaka”. Demi menyaksikan karomah agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat dengan Syaikh Ibnu Atho’illah ketika meninggal kelak.

Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah satu murid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibn Athoillah sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam Ibrahim, di Mas’aa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada teman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung terperanjat ketika mendengar teman-temannya menjawab “Tidak”. Kurang puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya : “Siapa saja yang kamu temui ?” lalu si murid menjawab : “Tuanku… saya melihat tuanku di sana “. Dengan tersenyum al-arif billah ini menerangkan : “Orang besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah, dia pasti menjawabnya”.

Ibn Atho’illah wafat
Tahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun tersebut wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta. Namun demikian madrasah al-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro.[]

kubur Ibn Athoillah dengan keras: “Wahai Kamal… tidak ada diantara kita yang celaka”. Demi menyaksikan karomah agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat dengan Ibnu Atho’illah ketika meninggal kelak.

Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah satu murid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibn Athoillah sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam Ibrahim, di Mas’aa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada teman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung terperanjat ketiak mendengar teman-temannya menjawab “Tidak”. Kurang puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya : “Siapa saja yang kamu temui ?” lalu si murid menjawab : “Tuanku… saya melihat tuanku di sana “. Dengan tersenyum al-arif billah ini menerangkan : “Orang besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah, dia pasti menjawabnya”.

Pandangan tentang Maqam Sufi
 Dalam pandangan tasawuf secara umum, konsep maqām dan hāl adalah dua konsep yang sangat berhubungan dengan salik (pejalan sufi).

Maqām adalah tahapan-tahapan thariqah yang harus dilalui oleh seorang salik, yang membuahkan keadaan tertentu yang merasuk dalam diri salik. Semisal maqām taubat; seorang salik dikatakan telah mencapai maqām ini ketika dia telah bermujahadah dengan penuh kesungguhan untuk menjauhi segala bentuk maksiat dan nafsu syahwati. Dengan demikian, maqām adalah suatu keadaan tertentu yang ada pada diri salik yang didapatnya melalui proses usaha riyadhah (melatih hawa nafsu).

Sedangkan yang dimaksud dengan hāl − sebagaimana diungkapkan oleh al-Qusyairi − adalah suatu keadaan yang dianugerahkan kepada seorang sālik tanpa melalui proses usaha riyadhah.

Namun, dalam konsep maqām ini Ibn Atha’illah memiliki pemikiran yang berbeda, dia memandang bahwa suatu maqām dicapai bukan karena adanya usaha dari seorang salik, melainkan semata anugerah Allah swt. Karena jika maqām dicapai karena usaha salik sendiri, sama halnya dengan menisbatkan bahwa salik memiliki kemampuan untuk mencapai suatu maqām atas kehendak dan kemampuan dirinya sendiri.
 Pun jika demikian, maka hal ini bertentangan dengan konsep fana’ iradah, yaitu bahwa manusia sama sekali tidak memiliki kehendak, dan juga bertentangan dengan keimanan kita bahwa Allah yang menciptakan semua perbuatan manusia. Dengan demikian, bagi seorang salik untuk mencapai suatu maqām hendaknya salik menghilangkan segala kehendak dan angan-angannya (isqath al-iradah wa al-tadbir).

Mengenai maqām, Ibn Atha’illah membaginya tingkatan maqam sufi menjadi 9 tahapan;

 1. Maqam taubat
 2. Maqam zuhud
 3. Maqam shabar
 4. Maqam syukur
 5. Maqam khauf
 6. Maqam raja’
 7. Maqam ridha
 8. Maqam tawakkal
 9. Maqam mahabbah

Maqam Taubat
 Taubat adalah maqam awal yang harus dilalui oleh seorang salik. Sebelum mencapai maqam ini seorang salik tidak akan bisa mencapai maqam-maqam lainnya. Karena sebuah tujuan akhir tidak akan dapat dicapai tanpa adanya langkah awal yang benar.
 Cara taubat sebagaimana pandangan Ibn Atha’illah adalah dengan bertafakkur dan berkhalwat. sedang tafakkur itu sendiri adalah hendaknya seorang salik melakukan instropeksi terhadap semua perbuatannya di siang hari. Jika dia mendapati perbuatannya tersebut berupa ketaatan kepada Allah, maka hendaknya dia bersyukur kepada-Nya. Dan sebaliknya jika dia mendapati amal perbuatannya berupa kemaksiatan, maka hendaknya dia segera beristighfar dan bertaubat kepada-Nya.
 Untuk mencapai maqam taubat ini, seorang salik harus meyakini dan mempercayai bahwa irodah (kehendak) Allah meliputi segala sesuatu yang ada. Termasuk bentuk ketaatan salik, keadaan lupa kepada-Nya, dan nafsu syahwatnya, semua atas kehendak-Nya.
 Sedangkan hal yang dapat membangkitkan maqam taubat ini adalah berbaik sangka (husn adz-dzon) kepada-Nya. Jika seorang salik terjerumus dalam sebuah perbuatan dosa, hendaknya ia tidak menganggap bahwa dosanya itu sangatlah besar sehingga menyebabkan dirinya merasa putus asa untuk bisa sampai kepada-Nya.

Maqam Zuhud
 Dalam pandangan Ibn ‘Aţā’illah, zuhd ada 2 macam; Zuhd ahir Jalī seperti zuhd dari perbuatan berlebih-lebihan dalam perkara alal, seperti: makanan, pakaian, dan hal lain yang tergolong dalam perhiasan duniawi. Dan Zuhd Bāţin Khafī seperti zuhd dari segala bentuk kepemimpinan, cinta penampilan zahir, dan juga berbagai hal maknawi yang terkait dengan keduniaan”.
 Hal yang dapat membangkitkan maqām zuhd adalah dengan merenung (ta’ammul). Jika seorang sālik benar-benar merenungkan dunia ini, maka dia akan mendapati dunia hanya sebagai tempat bagi yang selain Allah, dia akan mendapatinya hanya berisikan kesedihan dan kekeruhan. Jikalau sudah demikian, maka sālik akan zuhd terhadap dunia. Dia tidak akan terbuai dengan segala bentuk keindahan dunia yang menipu.
 Maqām zuhd tidak dapat tercapai jika dalam hati sālik masih terdapat rasa cinta kepada dunia, dan rasa asud kepada manusia yang diberi kenikmatan duniawi. Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh Ibn ‘Aţā’illah: ”Cukuplah kebodohan bagimu jika engkau asud kepada mereka yang diberi kenikmatan dunia. Namun, jika hatimu sibuk dengan memikirkan kenikmatan dunia yang diberikan kepada mereka, maka engkau lebih bodoh daripada mereka. Karena mereka hanya disibukkan dengan kenikmatan yang mereka dapatkan, sedangkan engkau disibukkan dengan apa yang tidak engkau dapatkan”.
 Inti dari zuhd adalah keteguhan jiwa, yaitu tidak merasa bahagia dengan kenikmatan dunia yang didapat, dan tidak bersedih dan putus asa atas kenikmatan dunia yang tidak didapat.
 Seorang salik tidak dituntut menjadi orang yang faqir yang sama sekali tidak memiliki apa-apa. Karena ciri-ciri seorang zuhd ada dua; yaitu saat kenikmatan dunia tidak ada dan saat kenikmatan dunia itu ada. Ini dimaksudkan bahwa jika kenikmatan dunia itu didapat oleh sālik, maka dia akan menghargainya dengan bershukur dan memanfaatkan nikmat tersebut hanya karena Allah. Sebaliknya, jika nikmat sirna dari dirinya, maka dia merasa nyaman, tenang dan tidak sedih.

Maqam Sabar
 Ibn ‘Ata’illah membagi sabar menjadi 3 macam sabar terhadap perkara haram, sabar terhadap kewajiban, dan sabar terhadap segala perencanaan (angan-angan) dan usaha.
 Sabar terhadap perkara haram adalah sabar terhadap hak-hak manusia. Sedangkan sabar terhadap kewajiban adalah sabar terhadap kewajiban dan keharusan untuk menyembah kepada Allah. Segala sesuatu yang menjadi kewajiban ibadah kepada Allah akan melahirkan bentuk sabar yang ketiga yaitu sabar yang menuntut salik untuk meninggalkan segala bentuk angan-angan kepada-Nya.
 “Sabar atas keharaman adalah sabar atas hak-hak kemanusiaan. Dan sabar atas kewajiban adalah sabar atas kewajiban ibadah. Dan semua hal yang termasuk dalam kewajiban ibadah kepada Allah mewajibkan pula atas salik untuk meniadakan segala angan-angannya bersama Allah”.

Sabar bukanlah suatu maqam yang diperoleh melalui usaha salik sendiri. Namun, sabar adalah suatu anugerah yang diberikan Allah kepada salik dan orang-orang yang dipilih-Nya.
 Maqam sabar itu dilandasi oleh keimanan yang sempurna terhadap kepastian dan ketentuan Allah, serta menanggalkan segala bentuk perencanaan (angan-angan) dan usaha.

Maqam Syukur
 Shukur dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah terbagi menjadi 3 macam; pertama shukur dengan lisan, yaitu mengungkapkan secara lisan, menceritakan nikmat yang didapat. Kedua, shukur dengan anggota tubuh, yaitu shukur yang diimplementasi kan dalam bentuk ketaatan. Ketiga, shukur dengan hati, yaitu dengan mengakui bahwa hanya Allah Sang Pemberi Nikmat, segala bentuk kenikmatan yang diperoleh dari manusia semata-mata dari-Nya. Sebagaimana diungkapkan oleh Ibn ‘Ata’illah:
 “Dalam shukur menurut Ibn ‘Ata’illah terdapat tiga bagian; shukur lisan yaitu memberitakan kenikmatan (pada orang lain), shukur badan adalah beramal dengan ketaatan kepada Allah, dan shukur hati adalah mengakui bahwa Allah semata Sang Pemberi nikmat. Dan segala bentuk kenikmatan dari seseorang adalah semata-mata dari Allah.”
 Ibn ‘Ata’illah juga menjelaskan bahwa bentuk shukur orang yang berilmu adalah dengan menjadikan ilmunya sebagai landasan untuk memberi petunjuk kepada manusia lainnya. Sedangkan bentuk shukur orang yang diberi kenikmatan kekayaan adalah dengan menyalurkan hartanya kepada mereka yang membutuhkan. Bentuk shukur orang yang diberi kenikmatan berupa jabatan dan kekuasaan adalah dengan memberikan perlindungan dan kesejahteraan terhadap orang-orang yang ada dalam kekuasaannya.
 Lebih lanjut Ibn ‘Aţā’illah memaparkan bahwa shukur juga terbagi menjadi 2 bagian; shukur āhir dan shukur bāţin. Shukur āhir adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Sedangkan shukur bāţin adalah mengakui dan meyakini bahwa segala bentuk kenikmatan hanyalah dari Allah semata.
 Manfaat dari shukur adalah menjadikan anugerah kenikmatan yang didapat menjadi langgeng, dan semakin bertambah. Ibn ‘Ata’illah memaparkan bahwa jika seorang salik tidak menshukuri nikmat yang didapat, maka bersiap-siaplah untuk menerima sirnanya kenikmatan tersebut. Dan jika dia menshukurinya, maka rasa shukurnya akan menjadi pengikat kenikmatan tersebut. Allah berfirman: لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ (Jika kalian bershukur [atas nikmat-Ku) niscaya akan kutambah [kenikmatan itu]).1
 Jika seorang salik tidak mengetahui sebuah nikmat yang diberikan Allah kepada-Nya, maka dia akan mengetahuinya ketika nikmat tersebut telah hilang. Hal inilah yang telah diperingatkan oleh Ibn ‘Ata’illah.
 Lebih lanjut Ibn ‘Ata’illah menambahkan hendaknya seorang salik selalu bershukur kepada Allah sehingga ketika Allah memberinya suatu kenikmatan, maka dia tidak terlena dengan kenikmatan tersebut dan menjadikan-Nya lupa kepada Sang Pemberi Nikmat.
 Meskipun pada dasarnya semua kenikmatan pada hakikatnya adalah dari Allah, shukur kepada makhluk juga menjadi kewajiban seorang salik. Dia harus bershukur terhadap apa yang telah diberikan orang lain kepadanya, karena hal ini adalah suatu tuntutan shari‘at, seraya mengakui dan meyakini dalam hati bahwa segala bentuk kenikmatan tersebut adalah dari Allah.
 Pengejawantahan shukur tetap harus dilandasi dengan menanggalkan segala bentuk angan-angan dan keinginan. Akal adalah kenikmatan paling agung yang diberikan Allah kepada manusia. Karena akal inilah manusia menjadi berbeda dari sekalian makhluk. Namun, dengan kelebihan akal ini pula manusia memiliki potensi untuk bermaksiat kepada Allah. Dengan akal ini manusia dapat berpikir, berangan-angan, dan berkehendak. Sehingga manusia memiliki potensi untuk mengangan-angankan dan menginginkan suatu bentuk kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah. Hal inilah yang harus ditiadakan dalam pengejawantahan shukur.

Maqam khauf
Seorang salik dapat mencapai derajat maqam khauf apabila dia merasa takut atas sirnanya al dan maqamnya, karena dia tahu bahwa Allah memiliki kepastian hukum dan kehendak yang tidak dapat dicegah. Ketika Allah berkehendak untuk mencabut suatu maqām dan al yang ada pada diri salik, seketika itu juga Allah akan mencabutnya.
 “Bukti dari makna ini mengharuskan maqām khauf bagi seorang hamba terwujud, ketika dia memiliki ucapan yang baik dan perilaku yang terpuji maka dia tak akan terputus maqām khauf ini, serta dia tidak terpedaya dengan urusan duniawi, karena hukum kepastian dan kehendak Allah terwujud.”

Khauf seorang sālik bukanlah sekedar rasa takut semata. Khauf pasti diiringi dengan rajā’ (harapan) kepada Allah, karena khauf adalah pembangkit dari rajā ’. Maqām khauf adalah maqām yang membangkitkan maqām rajā’. Rajā’ tidak akan ada jika khauf tidak ada.
 Ibn ‘Atā’illah menyatakan bahwa jika sālik ingin agar dibuka baginya pintu rajā’ maka hendaknya dia melihat apa yang diberikan Allah kepadanya berupa anugerah maqām, al dan berbagai kenikmatan yang dia terima. Jika dia ingin agar terbuka baginya pintu khauf, maka hendaknya dia melihat apa yang dia berikan kepada-Nya berupa peribadatan dan ketaatan penuh pada-Nya. Sebagaimana diutarakan oleh Ibn ‘Atā’illah:
 ”Jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu rajā’, maka lihatlah segala sesuatu yang diberikan Allah kepadamu. Dan jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu khauf, maka lihatlah apa yang telah kau berikan kepada-Nya.”

Rajā ’ bukan semata-mata berharap, raj ā’ harus disertai dengan perbuatan. Jika rajā’ hanya berupa harapan tanpa perbuatan, maka tidak lain itu hanyalah sebuah angan-angan atau impian belaka. Dengan demikian wajib bagi seorang sālik untuk menyertakan rajā’nya dengan amal kepatuhan, dan peribadatan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah secara kontinu.
 Jika rajā’ sudah ada dalam diri sālik, maka rajā’ ini akan semakin menguatkan khauf yang ada pada dirinya. Karena suatu harapan, pasti akan disertai dengan rasa takut akan sesuatu, sehingga dapat dinyatakan bahwa khauf akan melahirkan rajā’, dan rajā’ akan menjadi penguat khauf.

Maqam Ridha dan Tawakkal
 Ria dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah adalah penerimaan secara total terhadap ketentuan dan kepastian Allah. Hal ini didasarkan pada QS. al-Mā’idah ayat 119:

(Allah ria terhadap mereka, dan mereka ria kepada Allah), dan juga sabda Rasulullah SAW.:

(Orang yang merasakan [manisnya] iman adalah orang yang ria kepada Allah).

Maqam ria bukanlah maqam yang diperoleh atas usaha salik sendiri. Akan tetapi ria adalah anugerah yang diberikan Allah.

Jika maqam ria sudah ada dalam diri sālik, maka sudah pasti maqām tawakkal juga akan terwujud. Oleh karena itu, ada hubungan yang erat antara maqām ria dan maqām tawakkal. Orang yang ria terhadap ketentuan dan kepastian Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai penuntun dalam segala urusannya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya, dan yakin bahwa Dia akan menentukan yang terbaik bagi dirinya.

Maqām tawakkal akan membangkitkan kepercayaan yang sempurna bahwa segala sesuatu ada dalam kekuasaan Allah. Sebagaimana termaktub dalam QS. Hūd ayat 123:
 (…kepada-Nya lah segala urusan dikembalikan, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya).

Sebagaimana maqām-maqām lainnya, maqām ria dan tawakkal tidak akan benar jika tanpa menanggalkan angan-angan. Ibn ‘Aţā’illah menyatakan bahwa angan-angan itu bertentangan dengan tawakkal, karena barangsiapa telah berpasrah kepada Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai penuntunnya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya atas segala urusannya, dan jika sudah demikian tiadalah bagi dirinya segala bentuk angan-angan.

“Perencanaan (tadbīr) juga bertentangan dengan maqam tawakkal karena seorang yang bertawakkal kepada Allah adalah orang yang menyerahkan kendali dirinya kepada-Nya, dan berpegang teguh kepada-Nya atas segala urusannya. Barangsiapa telah menetapi semua hal tersebut, maka tiada lagi perencanaan baginya, dan dia berpasrah terhadap perjalanan takdir. Peniadaan perencanaan (isqaţ tadbīr) juga terkait dengan maqām tawakkal dan ria, hal ini jelas, karena seorang yang ria maka cukup baginya perencanaan Allah atasnya. Maka bagaimana mungkin dia menjadi perencana bersama Allah, sedangkan dia telah rela dengan perencanan-Nya. Apakah engkau tidak tahu bahwa cahaya ria telah membasuh hati dengan curahan perencanan-Nya. Dengan demikian, orang yang ria terhadap Allah telah dianugrahkan baginya cahaya ria atas keputusan-Nya, maka tiada lagi baginya perencanaan bersama Allah…”

Hikmah ria kepada qaā’ dan qadar, antara lain dapat menghilangkan keruwetan dan kesusahan. Musibah yang diperoleh seseorang, jika dihadapi/dengan pikiran yang lapang dan dengan bekerja yang sungguh-sungguh di sanalah seseorang akan mendapatkan jalan dan petunjuk yang lebih berguna, daripada dihadapi dengan meratapi kesusahan-kesusahan itu, yang tidak ada berkesudahan.

Dasar ria akan qaā’ dan qadar, ialah firman Allah dalam al-Qur’an:

“Orang-orang (yang mu’min) jika mereka mendapat sesuatu bencana berkatalah mereka “Bahwasanya kami ini kepunyaan Allah, dan kami (semua) pasti kembali lagi kepada-Nya”Jika seseorang ditimpa bencana hendaklah dia ria, hatinya tidak boleh mendongkol. Ria dengan qaā’ ialah menerima segala kejadian yang menimpa diri seseorang, dengan rasa senang hati dan lapang dada.

Meriai qaā’ dan qadar, karena ditimpa bencana atau menderita sesuatu, sangat disukai oleh agama. Tetapi sekali-kali tiada dibenarkan seseorang meriai kekufuran dan kemaksiatan.

Ria dengan taqdir Allah adalah suatu perangai yang terpuji dan mulia serta membiasakan jiwa menyerahkan diri atas keputusan Allah, juga dapat mendapatkan hiburan yang sempurna di kala menderita segala bencana. Dialah obat yang sangat mujarab untuk menolak penyakit gelap mata hati. Dengan ria atas segala ketetapan Allah, hidup seseorang menjadi tenteram dan tidak gelisah.

Seseorang wajib berkeyakinan, bahwa bencana yang menimpa seseorang, adakalanya juga merupakan cobaan bagi seorang hamba, untuk lebih suka mengoreksi segala amal perbuatan pada masa-masa yang lampau, agar seseorang dapat mengubah dan memperbaiki jejak langkah dan perbuatannya pada masa-masa yang akan datang.

Menyerah kepada qaā’illah (keputusan takdir) Allah termasuk tidak boleh mengandai-andaikan, misalnya andaikan tadinya dia tidak ikut rombongan ini, barangkali dia tidak termasuk korban kecelakaan ini, sebagaimana firman Allah SWT.:

Hai orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir, yang berkata kepada saudara-saudara mereka tatkala mereka bepergian di bumi, atau sedang bertempur : Sekiranya bersama-sama kami, niscaya mereka tidak akan mati, dan tidak akan terbunuh. Yang demikian karena Allah hendak jadikan yang tersebut itu duka cita di hati-hati mereka dan Allah rnenghidupkan dan mematikan, dan Allah Maha melihat akan apa yang engkau kerjakan.

Maqam Mahabbah
 Imam al-Ghazālī berpendapat bahwa maqām maabbah adalah maqām tertinggi dari sekian maqām-maqām dalam tarekat. Dia menggambarkan bahwa maabbah adalah tujuan utama dari semua maqām.
 Namun, Ibn ‘Aţā’illah memiliki pandangan yang berbeda tentang konsep maabbah bahwa dalam maabbah seorang sālik harus menanggalkan segala angan-angannya. Dia berpendapat demikian karena alasan bahwa sālik yang telah sampai pada maabbah (cinta) bisa jadi dia masih mengharapkan balasan atas cintanya kepada yang dicintainya. Dari sini tampak bahwa rasa cinta sālik didasarkan atas kehendak dirinya untuk mendapatkan balasan cinta sebagaimana cintanya. Karena pecinta sejati adalah orang yang rela mengorbankan segala yang ada pada dirinya demi yang dicintainya, dan tidak mengharapkan imbalan apapun dari yang dicintainya, yang dalam konteks ini adalah Allah SWT.

”…maabbah (cinta) kepada Allah adalah tujuan luhur dari seluruh maqām, titik puncak dari seluruh derajat. Tiada lagi maqām setelah mahabbah, karena maabbah adalah hasil dari seluruh maqām, menjadi akibat dari seluruh maqām, seperti rindu, senang, ria dan lain sebagainya. Dan tiadalah maqām sebelum maabbah kecuali hanya menjadi permulaan dari seluruh permulaan maqām, seperti taubat, sabar, zuhd dan lain sebagainya…”

Wafat Tahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun tersebut wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta. Namun demikian madrasah al-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

macam-macam :PIDATO SERAH TERIMA CALON PENGANTIN

Hukum Mewakilkan Niat

Mendalami Al-Hikam Pasal 11 Kuburlah Eksistensimu!